Pada arah
tenggara Mansion kediaman keluarga Luke, terdapat sebuah kota
pesisir yang berada di antara bukit berbatu dan lautan lepas. Kota yang ada di
bawah kekuasaan Marquess Luke dan dipercayakan ke Baron tempat
itu bisa terbilang tidak terlalu besar, bahkan luasnya tidak lebih dari enam
buah desa.
Meskipun
begitu, dalam segi ekonomi kota yang merupakan penghasil kekayaan laut dan
hasil tambang tersebut bisa dikategorikan rata-rata menengah dalam Kerajaan
Felixia.
Kota pesisir
tersebut dikelilingi tembok setinggi tiga meter pada bagian utara, berhadapan
dengan daerah perbukitan, serta membentang ke arah timur dan barat menutupi
kota. Sedangkan pada arah selatan, terdapat sebuah pelabuhan yang cukup besar
untuk melabuhkan beberapa kapal laut para nelayan.
Pada
beberapa titik di luar tembok kota tersebut, terdapat parit beberapa yang
bercabang-cabang memanjang dari arah perbukitan menuju lautan melewati kota
tersebut.
Dari
beberapa parit yang memasuki kota melalui pintu air di bagian bawah tembok, ada
beberapa yang kering dan ada beberapa yang mengalir dengan air yang melimpah
karena tiap parit tersebut tidak bersumber dari mata air yang sama.
Sesampainya
di depan Gerbang Utama kota pesisir yang ada pada tembok bagian utara, Odo dan
Nanra memutar dan memilih jalan terobosan untuk masuk ke kota. Alasan mereka
melakukan hal itu karena sebelum keluar Nanra tidak meminta izin, dengan kata
lain sembunyi-sembunyi.
Hal
tersebut juga menguntungkan Odo. Kalau mereka masuk melalui Gerbang Utama,
kemungkinan besar ada prajurit yang mengenali wajahnya dan identitasnya sebagai
anak Marquess Luke akan terbongkar.
Mereka
berjalan di dekat tembok ke arah timur. Saat sampai pada parit kering untuk
sistem irigasi lahan yang ada di dalam kota, mereka turun ke dalam saluran
irigasi tersebut dan berjalan masuk ke kota melewati tembok di atas mereka yang
hanya setebal setengah meter.
Alasan
parit tersebut kering adalah karena musim gugur. Untuk menghemat persediaan
saat musim dingin yang akan tiba, air tawar yang biasanya digunakan untuk
mengairi lahan sekarang alirannya diatur oleh beberapa pintu air dan diarahkan
ke danau buatan yang ada di dalam kota untuk sepenuhnya digunakan bagi
kebutuhan tertentu seperti minum dan memasak saja.
Odo naik
dari parit terlebih dahulu, kemudian mengulurkan tangannya kepada Nanra. Gadis
itu meraihnya, kemudian naik ke pinggiran parit. Setelah masuk ke dalam kota
dan keluar dari parit yang masih sedikit berlumpur, Nanra mengajak Odo pergi ke
Panti Asuhan tempatnya tinggal.
Odo
sebenarnya enggan menerima tawaran tersebut karena tujuan awalnya datang ke
tempat kota bersisir tersebut hanya untuk mencari angin laut. Tetapi setelah
mempertimbangkan wajah memelas Nanra, pada akhirnya Odo ikut bersama gadis
berambut seputih salju tersebut.
Jalanan
batu bata yang ramai dengan lalu-lalang gerobak dan orang, bangunan-bangunan
semi kayu dan batu dengan cerobong asap, dan beberapa parit penuh aliran air
jernih yang mengarah ke satu tempat. Di beberapa sudut kota terlihat
pohon-pohon yang sudah mencoklat, serta di beberapa sudut lainnya terlihat
beberapa pohon yang daunnya telah sepenuhnya berguguran.
Lalu-lalang
di kota itu bukanlah hanya manusia semata, tetapi Demi-human, atau ras yang
kalau di kekaisaran disebut Ajin juga mengisi kota sebagai penduduk. Mereka
tidak saling mendiskriminasi, setiap penduduk yang ada berinteraksi dengan
normal dan akrab satu sama lain sesuai kepentingan masing-masing.
Kalau ada
suasana yang tidak menyenangkan, mungkin itu adalah pembicaraan yang terdengar
seperti kabar angin tentang bangsawan yang memiliki kekuasaan atas kota
tersebut. Mereka saling bisik di belakang prajurit penjaga yang sedang
berpatroli, membicarakan ekspedisi ke Dunia Astral yang dilakukan Dart Luke dan
akibatnya dalam perekonomian kota.
Setelah
keluar dari keramaian kota dan sampai di jalan di dekat salah satu parit yang
mengarah ke laut, suasana di antara kedua anak itu berubah senyap sesaat karena
tidak ada yang berbicara satu sama lain.
"Nanra,"
panggil Odo. "Apa memang begini suasananya? Terakhir kali aku main ke kota
tidak begini kurasa," ucapnya dengan niat membuat topik pembicaraan.
Gadis itu
berhenti melangkah, kemudian berbalik melihat Odo yang berjalan mengikuti
dengan wajah malas. Rambut gadis itu berkibar tertiup angin laut,
memperlihatkan wajahnya yang masih malu-malu pada anak laki-laki berambut hitam
tersebut.
"Ada
apa? Apa ada alasannya?" tanya Odo sambil berhenti melangkah, kemudian
menatapnya dengan santai.
Pertanyaan
itu sedikit membuat Nanra memperlihatkan ekspresi canggung. Ia memasang wajah
gelap, serta tatapannya terlihat tidak hidup dan penuh pikiran kelam.
"Itu
karena ekspedisi yang dilakukan Tuan Luke .... Karena dia menarik upeti lebih
dari biasanya ..., kota ini jadi kekurangan bahan makanan dan uang untuk menghadapi
musim dingin yang sebentar lagi datang. Terlebih lagi ..., karena sebagian
besar prajurit yang ada di kota ini diwajibkan ikut, keamanan sekitar kota ini
jadinya melemah. Wajar kalau mereka berkata seperti itu di belakang dan
menggunjing, saya juga merasa demikian ...."
Jawaban
yang keluar dari mulut Nanra membuat Odo terkejut sesaat. Gadis yang sebelumnya
selalu terlihat malu-malu dan canggung itu, sekarang Ia malah menatap Odo
dengan mata sebiru lautan cerah yang sangat tajam. Odo tidak mempermasalahkan
isi kalimatnya, tetapi yang membuatnya bingung adalah ucapannya yang seakan
memiliki pemikiran dan pandangan yang tidak seperti anak kecil.
Sambil
tersenyum gelap dan menatap tajam, Odo berjalan mendekati Nenra. Mendapat
tatapan itu, gadis tersebut gemetar dan menundukkan kepala. Melihat reaksi
tersebut, Odo sedikit lega karena perkataannya tadi hanya sebuah luapan
kekecewaan semata.
"Hebat
ya ..., padahal masih anak-anak tapi sudah berpikir sampai sejauh itu,"
ucap Odo sambil menepuk pundaknya.
Nanra
terhentak dan mengangkat kepala, melihat Odo dengan bingung. Saat melihat
senyumannya, gadis itu sesaat lega sekaligus tidak paham dengan maksud
perkataannya tadi.
"Odo
..., kalau kamu berkata seperti itu ... berarti kamu paham dengan maksud
perkataan tadi?" tanya Nanra.
"Hem,
tentu saja," jawab Odo.
"Odo
..., kamu juga masih anak-anak, 'kan? Kalau boleh tahu, umur kamu berapa?"
tanya Nanra dengan ekspresi ragu.
Pertanyaan
itu membuat Odo tersentak kaget. Ia baru sadar kalau perkataan sebelumnya
memicu kecurigaan yang tidak perlu.
"De-Delapan,"
jawab Odo menggunakan standar umur tubuh.
"Eh
..., lebih muda ....?"
"Ee
...?"
"Umur
saya sudah sepuluh tahun ...."
"A
..., mungkin sebaiknya aku memanggilmu Mbak atau semacamnya ya. Rasanya tadi
sangat tidak sopan."
"Ti-Tidak
perlu, panggil saja Nanra ... seperti itu saja."
Pada
akhirnya, tanpa saling mencari tahu keraguan masing-masing, mereka melanjutkan
perjalanan. Odo memilih tidak bertanya tentang pemikiran Nanra yang tergolong
dewasa, begitu juga sebaliknya.
Setelah
berjalan beberapa menit, mereka berdua sampai di Panti Asuhan tempat Nanra
tinggal. Panti Asuhan itu terletak di dekat dermaga pada daerah pelabuhannya,
sekitar beberapa ratus meter dari gudang penyimpanan hasil laut.
Dari depan,
Panti Asuhan tersebut terlihat tidak terlalu besar dan bangunannya mirip
seperti sebuah gereja, memiliki pagar kayu yang mengelilingi, dan beberapa
tanaman kebun seperti teh dan tomat yang tumbuh di dalam halamannya. Dinding
bangunannya terbuat dari batu bata dan memiliki kesan Gothic abad
pertengahan, memiliki atap runcing, dan warna gelap abu-abu mendominasi.
Penampilan
tempat itu bukanlah hal yang asing, sebagian besar bangunan seperti Panti
Asuhan atau Gereja di kota Felixia memang terlihat seperti itu.
Nanra
mendorong pintu pagar, kemudian melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan yang
diisi rerumputan pendek. Melihatnya sampai ke tempat tujuan dengan selamat, Odo
berbalik dan memutuskan pergi karena tidak ada kewajiban baginya untuk masuk ke
dalam bersama gadis itu.
"Odo
..., kenapa tidak sekalian masuk?" tanya Nanra sambil melihat Odo yang
berjalan pergi. Wajah gadis itu terlihat bingung untuk beberapa alasan.
Sambil
menoleh ke belakang dan memasang wajah yang terlihat kelam, Odo berkata dengan
nada menekan, "Tidak usah. Memangnya untuk apa? Lagi pula kita baru saja
bertemu tadi, tidak enak kalau aku datang ke tempatmu seperti ini."
"Ka-Kamu
tadi telah menyelamatkan saya ..., ja-jadi paling tidak biarkan saya berterima
kasih pa⸻"
Kreek
....!
Dengan
tiba-tiba terdengar suara pintu Panti Asuhan yang terbuka. Odo dan Nanra
menoleh, dari dalam sana keluar seorang perempuan muda yang terlihat seperti
biarawati. Perempuan itu adalah orang yang berbakti merawat tempat tersebut.
Sekilas
matanya langsung bertatapan dengan Odo. Seakan telah mengetahui sesuatu,
biarawati itu mengangguk kemudian berjalan ke arah Nanra yang terlihat takut
karena beberapa alasan.
"Nanra
..., dari pagi kamu ke mana saja?" tanya biarawati itu dengan lembut.
Gadis itu
menunduk dengan gemetar, rasa bersalah mengisi hatinya. Saat Ia terdiam tanpa
menjawab pertanyaan tersebut, Odo berjalan mendekati Nanra seraya berkata,
"Dia pergi ke hutan ... mencari jamur dan buah-buahan."
Biarawati
itu beralih melihat Odo. Tatapan mata biru biarawati itu terlihat sangat murni,
berbeda dengan Odo yang walaupun masih anak-anak tetapi tatapannya sudah
terlihat gelap dan kotor.
"Anda
...."
"Aku
Odo, namaku hanya Odo ...."
Perkataan
yang ditekankan itu membuat biarawati tersebut paham. Pada dasarnya Ia tahu
bahwa Odo adalah anak dari Marquess Luke karena dirinya pernah
datang ke Mansion, tetapi mendapat perkataan tersebut membuat
biarawati itu mengangguk setuju untuk tidak mengungkit statusnya.
"Odo
.... Kalau begitu, bisa kamu jelaskan kenapa Nanra pergi ke hutan dan baru
kembali sekarang? Seperti yang And⸻ Kamu tahu ..., di penghujung musim gugur
seperti ini sangat berbahaya, banyak monster yang berkeliaran mencari bahan
makanan untuk musim dingin ...."
Setelah itu
Odo menjelaskan semuanya, dengan jujur dan tanpa kebohongan. Tentang Nanra yang
ditangkap oleh sekelompok Orc, Ia yang menyelamatkannya, dan bagaimana dirinya
masuk ke kota melalui jalur rahasia. Saat menjelaskan semua itu, Nanra hanya
menunduk dengan rasa takut dan menyesal.
"Begitu
ya, jadi hal seperti itu .... Diriku ini sampai bingung harus berterima kasih
seperti apa karena engkau telah menyelamatkan anak ini," ucap biarawati
tersebut.
Odo menatap
dengan datar. Setelah mengamati perempuan yang auranya terasa menenangkan
tersebut, Odo sedikit menghela napas ringan seraya memalingkan wajah ke kanan.
"Sebelum
itu, bisakah Kakak memperkenalkan diri? Aku bingung harus memanggil apa
...."
Biarawati
itu sedikit terkejut. Ia sedikit merasa heran dengan nada dan susunan perkataan
yang diucapkan anak laki-laki tersebut.
"Namaku
Siska, biarawati yang mengurus Panti Asuhan ini. Untuk sekarang, diriku juga
bekerja sebagai pendeta di gereja di kota ini."
Odo menatap
tajam Siska. Mendapat tatapan seperti itu, biarawati itu sedikit merasakan hal
yang benar-benar janggal dari anak tersebut. Nanra mengangkat kepalanya,
kemudian melihat ke arah Odo dan Ia juga merasakan hal aneh dari anak laki-laki
itu.
"A-Ada
apa ya? Kenapa kamu menatap kakak seperti itu?" tanya Siska.
"Tidak
..., hanya saja ... aku sedikit penasaran. Apa hanya kakak yang mengurus Panti
Asuhan ini? Dan juga, dari tadi rasanya tempat ini terlalu sepi. Apa tidak ada
anak lagi yang tinggal di tempat ini?"
Pertanyaan
itu membuat Siska sedikit terkejut. Ia mulai tahu alasan mengapa Odo menatap
tajam ke arahnya. Alasannya sangat sederhana tetapi mungkin tidak akan pernah
terpikirkan oleh anak berumur delapan tahun. Odo hanya curiga tentang Panti
Asuhan tersebut, apakah karena masalah ekonomi mereka melakukan hal yang
tidak-tidak kepada para anak yang tinggal di sana.
Sambil tersenyum
ikhlas, Siska menjawab, "Tenang saja, tempat ini bukan seperti yang kamu
pikirkan. Panti Asuhan ini memang tidak banyak yang tinggal, hanya aku
biarawati yang mengurus tempat ini dan hanya enam anak yang tinggal. Sejak
pengurus sebelumnya meninggal, kebanyakan anak-anak yatim yang sudah dewasa
memilih menjadi prajurit atau pergi ke luar kota."
Jawaban itu
tidak membuat Odo percaya, tetapi bukan berarti Ia terus meragukan mereka. Ia
sedikit memalingkan pandangan, kemudian berpikir sejenak tentang kondisi Panti
Asuhan tersebut. Secara mendasar, masalah ekonomi yang melanda kota pesisir itu
dan membuat Panti Asuhan tersebut kesulitan mendapat makan adalah Ayahnya yang
memulai ekspedisi ke Dunia Astral.
Merasakan
adanya sebuah kewajiban sebagai anak seorang pemimpin wilayah, Odo menjadi
tidak bisa tinggal diam melihat Panti Asuhan tersebut kekurangan sesuatu untuk
dimakan.
"Kak
Siska ..., soal makanan di Panti Asuhan ini ... apa sudah tercukupi?"
tanya Odo.
"Selama
kita bersyukur, tidak ada yang tidak tercukupi."
Jawaban itu
tidak menjawab pertanyaan Odo. Dengan tatapan datar, Ia sekilas merenung
sejenak mengingat perempuan tersebut memang orang gereja yang kebanyakan mental
dan sifatnya tabah seperti itu.
"Bukannya
aku mendiskriminasi pemikiran seperti itu, tapi kalau kurang sebaiknya bilang
saja kurang. Hah, orang Puritan memang selalu membuatku bingung," pikir Odo.
[Catatan:
Puritan, orang yang hidup soleh dan menganggap kemewahan serta kesenangan
duniawi sebagai dosa]
"Kak
Siska ..., yakin berkata seperti itu?" tanya Odo. Siska memasang wajah
bingung akan perkataan tersebut.
"Ah
..., padahal aku bisa memberikan beberapa makanan untuk kalian dengan bayaran
pertukaran sederhana untuk dimakan. Kalau kalian sudah tercukupi kebutuhannya
ya bagaimana lagi, aku simpan saja buat musim dingin nanti," ucap Odo
sambil sekilas melirik Siska dan Nanra secara bergantian.
Nanra
benar-benar terpancing dan wajahnya sangat terpikat, sedangkan Siska hanya
bereaksi terkejut dan sedikit menunjukkan wajah terkejut dengan perkataan anak
kecil itu.
"Kalau
kalian mau, aku bisa memberikan kalian bahan makanan setiap minggunya sampai
musim dingin berakhir. Tentu saja tidak cuma-cuma, aku ingin dibuatkan masakan
yang bisa dimakan. Bagaimana, mau?"
Awalnya Ia
ragu menerima tawaran seperti itu dari anak bangsawan seperti Odo, tetapi
setelah mendengar penjelasan latar belakang palsu bahwa Odo anak desa daerah
perbukitan dari Nanra, Siska menjadi sedikit paham kalau bantuan itu diberikan
bukan dari unsur kepentingan belaka, melainkan murni dari rasa ingin membantu.
Setelah
mempertimbangkan beberapa hal, pada akhirnya Siska menerima tawaran tersebut.
Ia setuju untuk menerima beberapa bahan mentah setiap minggunya, dan sebagai
balas budi Ia membuat masakan untuk Odo dari sebagian bahan tersebut.
Karena
sekarang Odo sekarang tidak membawa bahan makanan yang dijanjikan, Ia
memutuskan untuk pergi dan memberikan bahan makanan besok harinya. Sebelum
kembali ke Mansion, Odo memutuskan untuk melihat-lihat daerah pelabuhan
sejenak.
Keramaian
para pelayan yang sedang membongkar hasil tangkapan dengan hasil pas-pasan,
beberapa kapal laut yang sedang berlabuh di dermaga, dan pemandangan langit
senja yang dihiasi awan mendung dan beberapa burung camar yang terbang bebas.
Odo
berjalan mendekati salah satu kapal kayu yang berlabuh di dermaga. Dengan
menggunakan sihir pelontar, Ia meloncat naik sampai ke atas dek kapal kemudian
berjalan menuju sisi lainnya untuk melihat lautan. Walaupun matahari tertutup
awan, tetapi cahaya yang ada masih terlihat dan membuat awan berubah kemerahan.
Itu sebuah pemandangan yang indah, paling tidak bagi Odo.
"Senja
selalu indah ...," ucapnya dengan nada sedikit haru.
Setelah
puas menikmati pemandangan dan merenung, Odo pulang ke Mansion sebelum
hari benar-benar malam dengan cara yang sama dengan cara Ia pergi. Saat
di Mansion, karena beberapa masalah yang timbul sebelum pergi
membuatnya menjadi sedikit canggung dengan Julia, pelayan pribadinya.
Tetapi Odo
tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dengan alasan sudah lelah, Ia menghindari
makan malam bersama dan langsung pergi ke kamarnya sendiri setelah membasuh
tubuh. Odo mengunci pintu kamar ditambah dengan beberapa pengaman sihir untuk
keamanan dari serangan makhluk berahi, kemudian merapikan diri sebelum tidur di
atas ranjangnya.
No comments:
Post a Comment