Friday, September 6, 2019

[05] Kota pesisir (Bagian 01)


Pada arah tenggara Mansion kediaman keluarga Luke, terdapat sebuah kota pesisir yang berada di antara bukit berbatu dan lautan lepas. Kota yang ada di bawah kekuasaan Marquess Luke dan dipercayakan ke Baron tempat itu bisa terbilang tidak terlalu besar, bahkan luasnya tidak lebih dari enam buah desa.

Meskipun begitu, dalam segi ekonomi kota yang merupakan penghasil kekayaan laut dan hasil tambang tersebut bisa dikategorikan rata-rata menengah dalam Kerajaan Felixia.
Kota pesisir tersebut dikelilingi tembok setinggi tiga meter pada bagian utara, berhadapan dengan daerah perbukitan, serta membentang ke arah timur dan barat menutupi kota. Sedangkan pada arah selatan, terdapat sebuah pelabuhan yang cukup besar untuk melabuhkan beberapa kapal laut para nelayan.
Pada beberapa titik di luar tembok kota tersebut, terdapat parit beberapa yang bercabang-cabang memanjang dari arah perbukitan menuju lautan melewati kota tersebut.
Dari beberapa parit yang memasuki kota melalui pintu air di bagian bawah tembok, ada beberapa yang kering dan ada beberapa yang mengalir dengan air yang melimpah karena tiap parit tersebut tidak bersumber dari mata air yang sama.
Sesampainya di depan Gerbang Utama kota pesisir yang ada pada tembok bagian utara, Odo dan Nanra memutar dan memilih jalan terobosan untuk masuk ke kota. Alasan mereka melakukan hal itu karena sebelum keluar Nanra tidak meminta izin, dengan kata lain sembunyi-sembunyi.
Hal tersebut juga menguntungkan Odo. Kalau mereka masuk melalui Gerbang Utama, kemungkinan besar ada prajurit yang mengenali wajahnya dan identitasnya sebagai anak Marquess Luke akan terbongkar.
Mereka berjalan di dekat tembok ke arah timur. Saat sampai pada parit kering untuk sistem irigasi lahan yang ada di dalam kota, mereka turun ke dalam saluran irigasi tersebut dan berjalan masuk ke kota melewati tembok di atas mereka yang hanya setebal setengah meter.
Alasan parit tersebut kering adalah karena musim gugur. Untuk menghemat persediaan saat musim dingin yang akan tiba, air tawar yang biasanya digunakan untuk mengairi lahan sekarang alirannya diatur oleh beberapa pintu air dan diarahkan ke danau buatan yang ada di dalam kota untuk sepenuhnya digunakan bagi kebutuhan tertentu seperti minum dan memasak saja.
Odo naik dari parit terlebih dahulu, kemudian mengulurkan tangannya kepada Nanra. Gadis itu meraihnya, kemudian naik ke pinggiran parit. Setelah masuk ke dalam kota dan keluar dari parit yang masih sedikit berlumpur, Nanra mengajak Odo pergi ke Panti Asuhan tempatnya tinggal.
Odo sebenarnya enggan menerima tawaran tersebut karena tujuan awalnya datang ke tempat kota bersisir tersebut hanya untuk mencari angin laut. Tetapi setelah mempertimbangkan wajah memelas Nanra, pada akhirnya Odo ikut bersama gadis berambut seputih salju tersebut.
Jalanan batu bata yang ramai dengan lalu-lalang gerobak dan orang, bangunan-bangunan semi kayu dan batu dengan cerobong asap, dan beberapa parit penuh aliran air jernih yang mengarah ke satu tempat. Di beberapa sudut kota terlihat pohon-pohon yang sudah mencoklat, serta di beberapa sudut lainnya terlihat beberapa pohon yang daunnya telah sepenuhnya berguguran.
Lalu-lalang di kota itu bukanlah hanya manusia semata, tetapi Demi-human, atau ras yang kalau di kekaisaran disebut Ajin juga mengisi kota sebagai penduduk. Mereka tidak saling mendiskriminasi, setiap penduduk yang ada berinteraksi dengan normal dan akrab satu sama lain sesuai kepentingan masing-masing.
Kalau ada suasana yang tidak menyenangkan, mungkin itu adalah pembicaraan yang terdengar seperti kabar angin tentang bangsawan yang memiliki kekuasaan atas kota tersebut. Mereka saling bisik di belakang prajurit penjaga yang sedang berpatroli, membicarakan ekspedisi ke Dunia Astral yang dilakukan Dart Luke dan akibatnya dalam perekonomian kota.
Setelah keluar dari keramaian kota dan sampai di jalan di dekat salah satu parit yang mengarah ke laut, suasana di antara kedua anak itu berubah senyap sesaat karena tidak ada yang berbicara satu sama lain.
"Nanra," panggil Odo. "Apa memang begini suasananya? Terakhir kali aku main ke kota tidak begini kurasa," ucapnya dengan niat membuat topik pembicaraan.
Gadis itu berhenti melangkah, kemudian berbalik melihat Odo yang berjalan mengikuti dengan wajah malas. Rambut gadis itu berkibar tertiup angin laut, memperlihatkan wajahnya yang masih malu-malu pada anak laki-laki berambut hitam tersebut.
"Ada apa? Apa ada alasannya?" tanya Odo sambil berhenti melangkah, kemudian menatapnya dengan santai.
Pertanyaan itu sedikit membuat Nanra memperlihatkan ekspresi canggung. Ia memasang wajah gelap, serta tatapannya terlihat tidak hidup dan penuh pikiran kelam.
"Itu karena ekspedisi yang dilakukan Tuan Luke .... Karena dia menarik upeti lebih dari biasanya ..., kota ini jadi kekurangan bahan makanan dan uang untuk menghadapi musim dingin yang sebentar lagi datang. Terlebih lagi ..., karena sebagian besar prajurit yang ada di kota ini diwajibkan ikut, keamanan sekitar kota ini jadinya melemah. Wajar kalau mereka berkata seperti itu di belakang dan menggunjing, saya juga merasa demikian ...."
Jawaban yang keluar dari mulut Nanra membuat Odo terkejut sesaat. Gadis yang sebelumnya selalu terlihat malu-malu dan canggung itu, sekarang Ia malah menatap Odo dengan mata sebiru lautan cerah yang sangat tajam. Odo tidak mempermasalahkan isi kalimatnya, tetapi yang membuatnya bingung adalah ucapannya yang seakan memiliki pemikiran dan pandangan yang tidak seperti anak kecil.
Sambil tersenyum gelap dan menatap tajam, Odo berjalan mendekati Nenra. Mendapat tatapan itu, gadis tersebut gemetar dan menundukkan kepala. Melihat reaksi tersebut, Odo sedikit lega karena perkataannya tadi hanya sebuah luapan kekecewaan semata.
"Hebat ya ..., padahal masih anak-anak tapi sudah berpikir sampai sejauh itu," ucap Odo sambil menepuk pundaknya.
Nanra terhentak dan mengangkat kepala, melihat Odo dengan bingung. Saat melihat senyumannya, gadis itu sesaat lega sekaligus tidak paham dengan maksud perkataannya tadi.
"Odo ..., kalau kamu berkata seperti itu ... berarti kamu paham dengan maksud perkataan tadi?" tanya Nanra.
"Hem, tentu saja," jawab Odo.
"Odo ..., kamu juga masih anak-anak, 'kan? Kalau boleh tahu, umur kamu berapa?" tanya Nanra dengan ekspresi ragu.
Pertanyaan itu membuat Odo tersentak kaget. Ia baru sadar kalau perkataan sebelumnya memicu kecurigaan yang tidak perlu.
"De-Delapan," jawab Odo menggunakan standar umur tubuh.
"Eh ..., lebih muda ....?"
"Ee ...?"
"Umur saya sudah sepuluh tahun ...."
"A ..., mungkin sebaiknya aku memanggilmu Mbak atau semacamnya ya. Rasanya tadi sangat tidak sopan."
"Ti-Tidak perlu, panggil saja Nanra ... seperti itu saja."
Pada akhirnya, tanpa saling mencari tahu keraguan masing-masing, mereka melanjutkan perjalanan. Odo memilih tidak bertanya tentang pemikiran Nanra yang tergolong dewasa, begitu juga sebaliknya.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka berdua sampai di Panti Asuhan tempat Nanra tinggal. Panti Asuhan itu terletak di dekat dermaga pada daerah pelabuhannya, sekitar beberapa ratus meter dari gudang penyimpanan hasil laut.
Dari depan, Panti Asuhan tersebut terlihat tidak terlalu besar dan bangunannya mirip seperti sebuah gereja, memiliki pagar kayu yang mengelilingi, dan beberapa tanaman kebun seperti teh dan tomat yang tumbuh di dalam halamannya. Dinding bangunannya terbuat dari batu bata dan memiliki kesan Gothic abad pertengahan, memiliki atap runcing, dan warna gelap abu-abu mendominasi.
Penampilan tempat itu bukanlah hal yang asing, sebagian besar bangunan seperti Panti Asuhan atau Gereja di kota Felixia memang terlihat seperti itu.
Nanra mendorong pintu pagar, kemudian melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan yang diisi rerumputan pendek. Melihatnya sampai ke tempat tujuan dengan selamat, Odo berbalik dan memutuskan pergi karena tidak ada kewajiban baginya untuk masuk ke dalam bersama gadis itu.
"Odo ..., kenapa tidak sekalian masuk?" tanya Nanra sambil melihat Odo yang berjalan pergi. Wajah gadis itu terlihat bingung untuk beberapa alasan.
Sambil menoleh ke belakang dan memasang wajah yang terlihat kelam, Odo berkata dengan nada menekan, "Tidak usah. Memangnya untuk apa? Lagi pula kita baru saja bertemu tadi, tidak enak kalau aku datang ke tempatmu seperti ini."
"Ka-Kamu tadi telah menyelamatkan saya ..., ja-jadi paling tidak biarkan saya berterima kasih pa⸻"
Kreek ....!
Dengan tiba-tiba terdengar suara pintu Panti Asuhan yang terbuka. Odo dan Nanra menoleh, dari dalam sana keluar seorang perempuan muda yang terlihat seperti biarawati. Perempuan itu adalah orang yang berbakti merawat tempat tersebut.
Sekilas matanya langsung bertatapan dengan Odo. Seakan telah mengetahui sesuatu, biarawati itu mengangguk kemudian berjalan ke arah Nanra yang terlihat takut karena beberapa alasan.
"Nanra ..., dari pagi kamu ke mana saja?" tanya biarawati itu dengan lembut.
Gadis itu menunduk dengan gemetar, rasa bersalah mengisi hatinya. Saat Ia terdiam tanpa menjawab pertanyaan tersebut, Odo berjalan mendekati Nanra seraya berkata, "Dia pergi ke hutan ... mencari jamur dan buah-buahan."
Biarawati itu beralih melihat Odo. Tatapan mata biru biarawati itu terlihat sangat murni, berbeda dengan Odo yang walaupun masih anak-anak tetapi tatapannya sudah terlihat gelap dan kotor.
"Anda ...."
"Aku Odo, namaku hanya Odo ...."
Perkataan yang ditekankan itu membuat biarawati tersebut paham. Pada dasarnya Ia tahu bahwa Odo adalah anak dari Marquess Luke karena dirinya pernah datang ke Mansion, tetapi mendapat perkataan tersebut membuat biarawati itu mengangguk setuju untuk tidak mengungkit statusnya.
"Odo .... Kalau begitu, bisa kamu jelaskan kenapa Nanra pergi ke hutan dan baru kembali sekarang? Seperti yang And⸻ Kamu tahu ..., di penghujung musim gugur seperti ini sangat berbahaya, banyak monster yang berkeliaran mencari bahan makanan untuk musim dingin ...."
Setelah itu Odo menjelaskan semuanya, dengan jujur dan tanpa kebohongan. Tentang Nanra yang ditangkap oleh sekelompok Orc, Ia yang menyelamatkannya, dan bagaimana dirinya masuk ke kota melalui jalur rahasia. Saat menjelaskan semua itu, Nanra hanya menunduk dengan rasa takut dan menyesal.
"Begitu ya, jadi hal seperti itu .... Diriku ini sampai bingung harus berterima kasih seperti apa karena engkau telah menyelamatkan anak ini," ucap biarawati tersebut.
Odo menatap dengan datar. Setelah mengamati perempuan yang auranya terasa menenangkan tersebut, Odo sedikit menghela napas ringan seraya memalingkan wajah ke kanan.
"Sebelum itu, bisakah Kakak memperkenalkan diri? Aku bingung harus memanggil apa ...."
Biarawati itu sedikit terkejut. Ia sedikit merasa heran dengan nada dan susunan perkataan yang diucapkan anak laki-laki tersebut.
"Namaku Siska, biarawati yang mengurus Panti Asuhan ini. Untuk sekarang, diriku juga bekerja sebagai pendeta di gereja di kota ini."
Odo menatap tajam Siska. Mendapat tatapan seperti itu, biarawati itu sedikit merasakan hal yang benar-benar janggal dari anak tersebut. Nanra mengangkat kepalanya, kemudian melihat ke arah Odo dan Ia juga merasakan hal aneh dari anak laki-laki itu.
"A-Ada apa ya? Kenapa kamu menatap kakak seperti itu?" tanya Siska.
"Tidak ..., hanya saja ... aku sedikit penasaran. Apa hanya kakak yang mengurus Panti Asuhan ini? Dan juga, dari tadi rasanya tempat ini terlalu sepi. Apa tidak ada anak lagi yang tinggal di tempat ini?"
Pertanyaan itu membuat Siska sedikit terkejut. Ia mulai tahu alasan mengapa Odo menatap tajam ke arahnya. Alasannya sangat sederhana tetapi mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh anak berumur delapan tahun. Odo hanya curiga tentang Panti Asuhan tersebut, apakah karena masalah ekonomi mereka melakukan hal yang tidak-tidak kepada para anak yang tinggal di sana.
Sambil tersenyum ikhlas, Siska menjawab, "Tenang saja, tempat ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Panti Asuhan ini memang tidak banyak yang tinggal, hanya aku biarawati yang mengurus tempat ini dan hanya enam anak yang tinggal. Sejak pengurus sebelumnya meninggal, kebanyakan anak-anak yatim yang sudah dewasa memilih menjadi prajurit atau pergi ke luar kota."
Jawaban itu tidak membuat Odo percaya, tetapi bukan berarti Ia terus meragukan mereka. Ia sedikit memalingkan pandangan, kemudian berpikir sejenak tentang kondisi Panti Asuhan tersebut. Secara mendasar, masalah ekonomi yang melanda kota pesisir itu dan membuat Panti Asuhan tersebut kesulitan mendapat makan adalah Ayahnya yang memulai ekspedisi ke Dunia Astral.
Merasakan adanya sebuah kewajiban sebagai anak seorang pemimpin wilayah, Odo menjadi tidak bisa tinggal diam melihat Panti Asuhan tersebut kekurangan sesuatu untuk dimakan.
"Kak Siska ..., soal makanan di Panti Asuhan ini ... apa sudah tercukupi?" tanya Odo.
"Selama kita bersyukur, tidak ada yang tidak tercukupi."
Jawaban itu tidak menjawab pertanyaan Odo. Dengan tatapan datar, Ia sekilas merenung sejenak mengingat perempuan tersebut memang orang gereja yang kebanyakan mental dan sifatnya tabah seperti itu.
"Bukannya aku mendiskriminasi pemikiran seperti itu, tapi kalau kurang sebaiknya bilang saja kurang. Hah, orang Puritan memang selalu membuatku bingung," pikir Odo.
[Catatan: Puritan, orang yang hidup soleh dan menganggap kemewahan serta kesenangan duniawi sebagai dosa]
"Kak Siska ..., yakin berkata seperti itu?" tanya Odo. Siska memasang wajah bingung akan perkataan tersebut.
"Ah ..., padahal aku bisa memberikan beberapa makanan untuk kalian dengan bayaran pertukaran sederhana untuk dimakan. Kalau kalian sudah tercukupi kebutuhannya ya bagaimana lagi, aku simpan saja buat musim dingin nanti," ucap Odo sambil sekilas melirik Siska dan Nanra secara bergantian.
Nanra benar-benar terpancing dan wajahnya sangat terpikat, sedangkan Siska hanya bereaksi terkejut dan sedikit menunjukkan wajah terkejut dengan perkataan anak kecil itu.
"Kalau kalian mau, aku bisa memberikan kalian bahan makanan setiap minggunya sampai musim dingin berakhir. Tentu saja tidak cuma-cuma, aku ingin dibuatkan masakan yang bisa dimakan. Bagaimana, mau?"
Awalnya Ia ragu menerima tawaran seperti itu dari anak bangsawan seperti Odo, tetapi setelah mendengar penjelasan latar belakang palsu bahwa Odo anak desa daerah perbukitan dari Nanra, Siska menjadi sedikit paham kalau bantuan itu diberikan bukan dari unsur kepentingan belaka, melainkan murni dari rasa ingin membantu.
Setelah mempertimbangkan beberapa hal, pada akhirnya Siska menerima tawaran tersebut. Ia setuju untuk menerima beberapa bahan mentah setiap minggunya, dan sebagai balas budi Ia membuat masakan untuk Odo dari sebagian bahan tersebut.
Karena sekarang Odo sekarang tidak membawa bahan makanan yang dijanjikan, Ia memutuskan untuk pergi dan memberikan bahan makanan besok harinya. Sebelum kembali ke Mansion, Odo memutuskan untuk melihat-lihat daerah pelabuhan sejenak.
Keramaian para pelayan yang sedang membongkar hasil tangkapan dengan hasil pas-pasan, beberapa kapal laut yang sedang berlabuh di dermaga, dan pemandangan langit senja yang dihiasi awan mendung dan beberapa burung camar yang terbang bebas.
Odo berjalan mendekati salah satu kapal kayu yang berlabuh di dermaga. Dengan menggunakan sihir pelontar, Ia meloncat naik sampai ke atas dek kapal kemudian berjalan menuju sisi lainnya untuk melihat lautan. Walaupun matahari tertutup awan, tetapi cahaya yang ada masih terlihat dan membuat awan berubah kemerahan. Itu sebuah pemandangan yang indah, paling tidak bagi Odo.
"Senja selalu indah ...," ucapnya dengan nada sedikit haru.
Setelah puas menikmati pemandangan dan merenung, Odo pulang ke Mansion sebelum hari benar-benar malam dengan cara yang sama dengan cara Ia pergi. Saat di Mansion, karena beberapa masalah yang timbul sebelum pergi membuatnya menjadi sedikit canggung dengan Julia, pelayan pribadinya.
Tetapi Odo tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dengan alasan sudah lelah, Ia menghindari makan malam bersama dan langsung pergi ke kamarnya sendiri setelah membasuh tubuh. Odo mengunci pintu kamar ditambah dengan beberapa pengaman sihir untuk keamanan dari serangan makhluk berahi, kemudian merapikan diri sebelum tidur di atas ranjangnya.


No comments:

Post a Comment

[06] Kota pesisir (Bagian 02)

Dini harinya, saat matahari belum muncul dan embun-embun masih melayang bersama udara segar. Selekas beranjak dari tempat tidur dan mandi,...