“Beraninya kau membunuh pasukanku ...!!” ucapnya dengan penuh nafsu membunuh.
Tatapan tajam Alice terarah pada pria yang berdiri di atas panggung kayu.
Amarah menjadi dalih dirinya mengangkat senjata di tangannya. Ia mengusap luka
pada pipi, kemudian meludahkan liur yang bercampur darah. Aura mistis keperakan
pada tubuh Alice semakin membesar, menyelimutinya dan pedang perak di
genggaman. Mendapat tatapan permusuhan darinya, Robert sedikit memasang
ekspresi datar dan merasa sedikit bersalah karena menimpuk wajah seorang gadis.
Sebenarnya Ia tidak bermaksud melempar helm pelindung padanya, tetapi karena
refleks itu tak terelakkan.
“Itu
sakit pastinya ya? Yah, maaf ... Aku tidak sengaja, tadi kelepasan. Tapi,
untung kepalamu masih utuh,” ucap Robert. Dengan postur tubuh ditegakkan, Ia
melihat gadis berambut perak yang ada di bawah.
“Berisik!!
Dasar sesat! Jangan sombong kau sialan!” bentak Alice. Gadis itu dipenuhi
amarah yang semakin meluap. Dalam benaknya, Ia merasa hina saat mengingat
kembali dirinya pernah memberi hormat kepada Robert saat iIa salah mengira
kalau pria itu adalah bangsawan dari kekaisaran.
“Gawat!
Dia benar-benar marah! Kalau gagal kabur bisa-bisa auto disiksa kayaknya ....”
Robert
berbalik dan segera berlari ke arah Putri Fiola. Tetapi saat ia baru mengambil
beberapa langkah, beberapa prajurit langsung meloncat ke atas panggung kayu dan
menebas punggungnya dari belakang sampai dirinya tersungkur ke atas panggung
kayu.
Bruak!
“Akh!
Apa-apaan?!” Sesegera pria itu bangun, melihat ke arah dua prajurit yang
menebasnya.
Anehnya,
tidak seperti sebelumnya, Robert tidak merasa sakit setelah terkena tebasan
tersebut. Ia pikir itu berkat baju zirah yang ia kenakan. Tetapi saat Ia
melihat zirah yang dikenakan, ternyata zirah tersebut telah tertembus tebasan
oleh tebasan tadi. Melihat hal tersebut seketika wajah Robert sedikit memucat.
“Te-Tembus?!!
Serius, tembus!?”
Ia
ingin menjerit karena kaget, sayang sekali dua orang di depannya tidak
membiarkannya. Mereka kembali mengayunkan pedang ke arah Robert, tetapi kali
ini berhasil dihindarinya dengan meloncat setengah meter ke belakang.
“Paling
gak biarkan aku kaget dulu ...!”
Sekali
lagi Ia melihat baju zirahnya pada bagian punggung yang rusak karena tebasan
tadi, baik Robert atau prajurit di depannya, mereka terlihat terkejut karena
tidak ada luka pada kulitnya. Robert memeriksanya dengan memegang punggung. Bekas
tebasan yang merusak zirah pada bagian punggung memang sangat jelas ada,
meskipun begitu kulit yang terlihat dari zirah yang rusak itu sama sekali tidak
terluka dan hanya memotong pakaian yang dikenakan di balik zirah.
“Ah,
berkah ini rasanya kok keterlaluan kuat ya. Eng, di dunia dengan ada orang yang
bisa memunculkan senjata dari lingkaran yang fungsinya seperti kantong empat
dimensi kurasa agak sedikit tidak terlalu aneh? Enggak, enggak! Aneh banget
lah.”
Pikiran Robert kacau untuk sesaat dan butuh
waktu untuk menerima kenyataan yang ada. Tetapi setelah mengingat hal-hal
fantasi dalam sebuah film-film tentang sihir, memang hal semacam itu wajar di
dunia sihir. Dari apa yang dilihatnya tadi dan apa yang terjadi padanya, pria
itu juga menyimpulkan kalau dunia tempatnya sekarang ini adalah dunia dimana
Pedang dan Sihir eksis serta menjadi hal yang wajar.
Pria
itu memasang wajah begitu tenang seraya meletakkan telapak tangan kanannya ke
depan mulut. Sambil sekilas melirik para prajurit lain yang mulai menaiki panggung
kayu, Ia tersenyum lebar sampai tangannya tidak bisa menutupi sepenuhnya.
“Apa
yang kalian lakukan?! Cepat bunuh dia?!” ucap Alice dengan lantang.
Mengikuti
perintah komandan mereka, para prajurit yang jumlahnya sampai ratusan orang
lebih tersebut mulai naik satu persatu dan menyerbu Robert. Dari luar balai
kota, ratusan prajurit lainnya mulai berdatangan dengan berbondong-bondong
dengan senjata dan tongkat yang merupakan alat sihir.
Melihat
semua itu, adrenalin membuatnya tersenyum penuh semangat di tengah situasi
genting tersebut. Jantungnya berdebar kencang dan membuatnya teringat masa
mudanya dulu. Dengan lincah Ia membuat gerak tipu seperti ingin berlari ke arah
Fiola untuk memancing musuh, dan saat salah satu prajurit mengayunkan pedang ke
arahnya, Robert menghindarinya dan memukul telak pada wajahnya. Helm prajurit
tersebut hancur dan tubuhnya melayang menubruk barusan prajurit yang baru naik.
“Jangan
jauh-jauh!” ucap Robert.
“Tu-Tuan....?!”
Fiola gemetar melihat senyum Robert yang seakan menikmati situasi yang ada.
Saat
ayunan tombak datang dari arah kiri pria tersebut, Ia menahannya dengan lengan
kiri dan membuat pelindung lengan terpotong, tetapi tangannya masih utuh dan
sama sekali tak terluka.
“Sudah
aku duga, tubuhku sekuat baja! Tidak, mungkin lebih kuat ... mungkin!”
Robert
meloncat pendek ke kanan, kemudian melepaskan pelindung tangan yang rusak dan
melemparnya ke arah prajurit tadi. Itu tepat mengenai wajahnya dan merontokkan
beberapa giginya. Sebelum ambruk, Robert berlari ke arahnya dan mencengkeram
wajahnya, kemudian melemparkan ke barisan prajurit di atas panggung. Mereka
roboh dan terjatuh ke bawah.
Seketika
mental dan keberanian para prajurit menurut melihat kekuatan fisik pria
tersebut. Tetapi rasa takut beberapa prajurit saja tidak mengetahui prajurit
lainnya yang jumlahnya mencapai seribu lebih.
Dibawa aba-aba pedang yang diangkat Alice, mereka menyerbu dengan penuh
rasa percaya diri akan kebenaran. Itu wajar, saat bertindak atas nama negeri,
kebanyakan orang akan bertindak tanpa benar-benar memikirkan landasan mereka.
Setiap
kali pedang yang diayunkan ke arahnya, Robert dengan mudah menghindarinya. Dari
kanan, kiri, atas, dan bahkan belakang,
semua serangan dihindari dengan sempurna. Insting pria itu berubah sangat tajam
dan gerakannya menjadi lincah, tidak ada satu pun ayunan pedang atau tusukan
tombak yang berhasil mengenainya.
“Ini
hebat ... saat fokus, gerakan mereka terlihat seperti Slow Motion....”
Sembari
menghindari ayunan dan tusukan senjata, Robert melancarkan tinju dan membuat
gelombang kejut yang mendorong kencang para prajurit. Sadar kalau hal tersebut
tidak efektif, dirinya menghajar lantai panggung dan membuat sebagian ambruk
sehingga para prajurit terjatuh. Meskipun begitu, jumlah mereka tidak berkurang
dan malah semakin banyak.
“HUH,
mereka semut atau apa memangnya ....”
Robert
berlari ke arah Fiola. Tanpa memberitahunya terlebih dahulu, Robert membopong tubuh
Tuan Putri berbadan kecil itu dengan kedua tangannya, kemudian berlari ke arah
belakang panggung kayu. Sayangnya di belakang panggung juga dipenuhi oleh para
prajurit kekaisaran Vandal dengan perlengkapan perang lengkap. Dari arah kanan,
kiri, depan, dan belakang, semua arah dipenuhi para prajurit kekaisaran.
Panggung yang dibuat seadanya mulai mengeluarkan suara aneh dan bergoyang
seperti akan ambruk.
“Tu-Tuan
....?” Putri Fiola terlihat kebingungan karena tiba-tiba dibopong. Robert menghiraukannya, pria itu terlalu fokus memikirkan cara keluar
dari kepungan para prajurit.
Sepuluh
prajurit datang ke padanya dengan variasi senjata jarak dekat seperti pedang,
kapak perang, palu perang, dan bola besi berduri yang dipasangi rantai. Saat
Robert masih memikirkan cara untuk kabur, salah satu prajurit melemparkan bola
besi berduri ke arahnya.
“Cih!”
Robert berputar dengan kaki kiri sebagai tumpuan untuk menyelesaikan posisi dan
mendapat momentum, kemudian menendang bola besi berduri tersebut ke arah
kerumunan prajurit yang menghadang.
Saat
itu kengerian terjadi. Bola besi berduri tersebut pun hancur dan serpihannya melesat
kencang ke arah para prajurit dengan
daya hancur lebih dari perkiraan Robert. Layaknya shotgun berkaliber tinggi, serpihan itu menembus zirah dan daging
mereka. Tubuh dengan lubang-lubang menganga adalah hasil dari ketidaksengajaan
Robert.
Semua
orang yang melihat itu terkejut sekaligus takut. Di antara mereka, yang paling
terkejut sekaligus takut adalah Robert sendiri. Ia tidak mengira kalau tendangannya
bisa berdampak separah itu. Setelah sepuluh prajurit di depan Robert rubuh, ternyata
dampak tersebut lebih parah lagi. Tepat di belakang mereka, puluhan prajurit
lainnya juga terkena serpihan besi yang melesat dengan sangat kencang tadi. Lebih
dari dua puluh prajurit mati saat itu juga.
Tepat
di antara para prajurit yang gugur, Alice berdiri dengan pedang perak besar
digunakan sebagai perisai. Melihat pemandangan mengerikan di atas panggung yang
seharusnya digunakan untuk mempermalukan Fiola, komandan pasukan itu langsung
murka.
“Sialan!
Aaaakh! Beraninya kau!” Alice langsung mengulurkan kedua tangannya ke depan dan
membuat lingkaran sihir, kemudian memasukkan pedang besar ke dalamnya. Tanpa
memedulikan sekitarnya Alice langsung berlari ke arah Robert, lalu meloncat
setinggi mungkin menggunakan lingkaran sihir sebagai pelontar.
“Tu-Tunggu!
Itu tidak sengaja!” ucap Robert dengan panik melihat gadis itu meloncat
setinggi sepuluh meter lebih.
“Berkah
Ilahi, Seluruh Senjata Sihir!”
Sebuah
lingkaran sihir raksasa muncul di atas gadis berambut perak yang sedang
melayang di udara. Lingkaran tersebut terdiri dari gabungan beberapa lingkaran
sihir dengan kombinasi rumit dan padat berwarna keperakan.
“Palu
Hukum, Castigo!”
Alice
memasukkan tangannya ke dalam lingkaran sihir raksasa, kemudian menarik gagang
dari sebuah palu perak raksasa yang ukurannya melebihi panggung kayu. Palu itu
memiliki ukiran yang unik, serta aura cahaya perak yang bersinar terang dari
martilnya.
“Eh?!”
Robert menganga melihat ukuran senjata tersebut, begitu juga Fiola yang ada di
bopongan Robert.
“Gadis
itu gila! Di sini masih ada anak buahnya! Apa dia tidak peduli?!”
Tanpa
berpikir dua kali Robert segera menurunkan Putri Fiola ke atas panggung kayu,
kemudian langsung memasang kuda-kuda untuk memukul palu raksasa tersebut. Alice
yang masih di udara memanfaatkan gaya gravitasi untuk menjatuhkan palu itu
tepat ke arah panggung kayu tempat Robert, Tuan Putri Fiola, dan beberapa orang
lainnya berada.
Saat
palu raksasa itu akan hampir meremukkan semua orang yang ada di atas panggung
kayu, Robert mengepalkan tangan kanannya. Pada kepalan tangan tersebut keluar
sebuah aura hitam yang amat mengerikan. Dengan cepat udara di sekitarnya
menghangat dan tekanan udara terpancar dari tubuh pria itu. Rambutnya terangkat
dan berkibar. Sekilas aura hitam juga ikut menyelimuti tubuhnya dan mengubah
warna rambut pria tersebut dari pirang menjadi hitam pekat sepenuhnya. Kornea
mata pria berambut hitam itu berumah merah darah dan dipenuhi hawa mengerikan.
“Mati!!”
teriak Alice, ia menambah tenaga ayunan palu raksasanya.
“Khaa!”
Saat
palu tersebut masuk dalam jangkauan, Robert memukulnya dengan tinju berselimut
aura hitam. Tek! Saat pukulan itu
menyentuh palu raksasa berwarna keperakan tersebut, seketika dan sesaat aura
hitam menelan seluruh kepala palu. Waktu seakan berhenti saat itu di mata
Robert. Saat dirinya menarik tinjunya menjauh, terdengar suara retakan yang
sangat keras dan pada saat bersamaan palu raksasa tersebut hancur
berkeping-keping menjadi debu dan tersebar ke penjuru arah, kemudian menghilang
tertiup angin.
Alice
menganga melihat apa yang terjadi. Gagang palu yang masih dipegang Ia lepaskan
dan tubuhnya mulai melayang jatuh tepat ke arah Robert. Melihat pria itu
menyiapkan tinjunya kembali, Alice menutup matanya dengan ketakutan dan pasrah.
“Apa
aku akan mati di sini ...? Padahal aku belum hidup lama di dunia ini ....”
Alice
salah paham, kepalan tangan Robert itu bukan untuk memukul dirinya melainkan
untuk memukul beberapa senjata yang berjatuhan dari lingkaran sihir dimensi
penyimpanan milik Alice yang masih terbuka lebar.
Pukulan
Robert melewati Alice dan menyerempet
pipinya, lalu membuat hempasan angin yang sangat kuat yang seketika
menerbangkan puluhan senjata yang berjatuhan, dan gelombang kejutnya menghancurkan lingkaran
sihir raksasa yang ada di udara.
Saat
Alice membuka matanya, Ia sadar bahwa tinju pria itu tadi sama sekali tidak ada
niat untuk melukainya dan malah bermaksud untuk melindunginya. Tubuh gadis
berambut perak itu jatuh ke dalam pelukan pria berwajah murung tersebut.
Untuk
sesaat wajahnya memerah. Alice merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya, gadis
berambut perak itu lekas meronta-ronta dan memukul-mukul Robert.
“Le-Lepaskan
aku! Le⸻”
Robert
memukul bagian belakang leher Alice dan membuatnya pingsan.
“Huh,
semangat sekali nih gadis ....”
Setelah
menghela napas, Robert menurunkan Alice ke atas lantai panggung kayu yang sudah
benar-benar mau roboh. Melihat komandan mereka dikalahkan dengan mudah, mental
ratusan prajurit yang mengelilingi mereka mulai runtuh dan mulai ragu untuk
menyerang.
“Wah,
tidak heran mereka ketakutan. Jujur, aku juga takut dengan diriku sendiri ... Serius ini? Masa aku bisa menghancurkan palu
raksasa tadi hanya dengan pukulan? Memang aku manusia tokoh utama dalam film
super hero apa? Hah! Beneran gak lucu ....”
Robert
melepas seluruh zirah yang dikenakannya, lalu meregangkan tubuh dan hanya
mengenakan kemeja putih compang-camping dengan bawahan celana hitam panjang. Ia
berjalan ke arah Putri Fiola, lalu membopongnya seperti halnya pahlawan yang
telah menyelamatkan seorang tuan putri.
“Sekali-kali
berlaga seperti ini gak masalah. Hem, tapi ... kalau aku sekuat pahlawan super
dalam film, apa aku juga bisa terbang? Hah, mau coba sekalian apa ya?”
Sekali lagi pria itu berpikir sesuatu
seperti bukan dirinya karena tidak bisa menerima kenyataan diluar akal
sehatnya. Robert sedikit membayangkan dirinya terbang di udara. Tetapi
karena ia sedikit mengidap phobia
ketinggian, Ia malah merasa merinding karena imajinasinya sendiri.
“Yah
... soal kekuatanku, nanti saja. Sekarang yang utama kabur.”
Robert
melihat sekeliling tempat itu, di mana dirinya dan Putri Fiola dikepung oleh
para prajurit yang jumlahnya seribu lebih. Walaupun dengan kemampuan fisiknya
yang kuat berkat Berkah dari Dewi Violence, dirinya sedikit ragu bisa
mempertahankan kewarasannya saat melawan mereka semua. Terlebih lagi, sekarang
dirinya mendapat beban untuk dilindungi.
“O-Oi
...! Bisakah kalian semua memberikan kami pergi!? Aku tidak mau melukai kalian,”
ucap Robert dengan suara sedikit kaku. Mendengar itu, para prajurit yang
ketakutan menurunkan senjata mereka dan hendak menyingkir untuk membuat jalan
untuk kedua orang itu.
“Apa
yang kalian lakukan?! Kalian mencoreng nama baik kaisar!! Bunuh dia! Bunuh
orang sesat itu!!” ucap bangsawan yang baju zirah dicuri Robert. Bangsawan tua
itu terlihat murka dan menunjuk ke arah Robert dengan histeris. Mendapati
perlakukan tidak mengenakan itu, alis kiri Robert terangkat karena sedikit
kesal.
“Masih hidup toh, apa sekalian .... Tidak,
sekarang yang penting kabur. Kalau ada pasukan tambahan atau semacamnya bisa
gawat.”
Tanpa
Robert hendaki, aura hitam yang mengerikan mulai keluar dari tubuhnya dan mulai
menyelimutinya. Seluruh tempat itu kembali diisi teror karena sosok pria itu.
“Ah
...? Keluar lagi .... Apa ini keluar kalau emosiku melonjak? Ya, sebenarnya
emosiku apa selabil ini ya?” Robert terkejut, tetapi pada saat itu juga dirinya
paham kalau aura hitam tersebut bisa dikendalikan dengan sangat mudah.
“Hem,
begitu rupanya ....”
Robert
berusaha menenangkan dirinya, dan aura hitam itu pun perlahan menghilang
seperti kabut hitam yang perlahan pudar.
“Jujur
aku belum tahu tujuan dewi itu mereinkarnasikanku di dunia ini .... Ditambah lagi, kenapa harus
di daerah yang sedang konflik seperti ini? Yah, untung tidak dia tidak cukup
kejam untuk tidak memberikan aku bekal kekuatan di dunia ini, sih ....”
Robert
menutup matanya, lalu mulai berusaha mengontrol aura hitam yang sering keluar
dari tubuhnya itu. Ia mengeluarkan aura hitam dengan jumlah sebanyak mungkin,
lalu mengumpulkannya pada kedua kakinya. Aura tersebut memusat, tidak terlihat
seperti kabut tetapi lebih mirip seperti api hitam pekat yang melekat pada
kaki.
“Oooh,
berhasil. Mudah sekali toh ....”
Robert
melihat ke arah Putri Fiola yang berada di atas kedua tangannya, lalu tersenyum
kecil. “Pegangan yang erat,” ucap Robert.
Mendengar
itu hal tersebut, Putri Fiola melingkarkan kedua tangannya ke bagian belakang
leher Robert dan memeluknya dengan erat seakan dirinya sudah tahu apa yang akan
dilakukan pria itu. Robert sedikit terkejut saat tangan sintetis Fiola
menyentuh lehernya. Ia melihat Fiola
dengan tatapan datar dan tidak berkata apapun.
“Ada
... apa?” tanya Putri Fiola.
“Tak
ada.” Robert sempat terkejut mendengar
suara merdu Putri itu dari dekat, tetapi hal itu tidak terlihat dari ekspresi
pria itu. “Kalau bisa, tutup matamu dan tunggu sampai aku boleh bilang buka,”
lanjut pria itu dengan suara kalem.
“Hem.”
Putri Fiola mengangguk, dan langsung menutup matanya rapat-rapat. Saat itu Tuan
Putri mengira kalau Robert akan berlari menerjang para prajurit, tetapi Ia
salah paham. Sekilas Robert merasa bersalah melihat ke arah Alice yang
tergeletak tidak sadarkan diri dan para prajurit yang telah tiada, tetapi pada
akhirnya Ia paham kalau itu tidak bisa dipungkiri. Di saat ingin menolong
seseorang pasti ada yang harus ditinggalkan, setiap individu memiliki batasnya
dalam menolong orang lain, itulah cara pandang yang ada pada Robert.
Setelah
menghela napas ringan, pria itu melihat ke arah langit kemudian memasang
kuda-kuda meloncat dengan menggunakan kaki berselimut aura hitam sebagai
tumpuan utama. “Baiklah ... mari kita mulai loncatan supernya!” ucap pria itu.
Pada timing yang tepat, sinkronisasi
aura hitam dam loncatan membuatnya meloncat sangat cepat dan tinggi di udara.
Duaskh!!
Hempasan
angin dari loncatan tersebut sampai membuat panggung kayu hancur dan beberapa
puluh prajurit di sekitarnya terpental. Robert pergi membawa Putri Fiola
melayang tinggi di udara dengan loncatan super setinggi ratusan meter tersebut.
Saat berada di udara, Robert sedikit merasa aneh. Seharusnya dirinya itu
sedikit phobia ketinggian dan Ia
sudah bersiap untuk ketakutan saat melayang di udara, tetapi anehnya sekarang
dirinya sama sekali tidak merasakan ketakutan.
“Begitu
ya, ... jadi kebal terhadap segala jenis kelainan dan penyimpangan juga termasuk kebal dengan Phobia toh ....”
Fiola
perlahan membuka matanya karena merasakan tekanan angin yang saat kaut. “Kyaaa!”
jerit Fiola dengan kaget menjumpai dirinya terbang beberapa ratus meter di
udara. Putri itu sangat ketakutan melihat permukaan tanah yang sangat jauh di
bawah sana.
“A
... sudah aku bilang jangan buka matamu dulu ....”
“Ke-Kenapa
kita ada di sini? Te-Terbang?” tanya Putri Fiola dengan gemetar.
“Tidak,
aku loncat.”
“Loncat?!”
Putri panik. Ia tahu kata loncat tersebut akan berujung dengan jatuh dan bukan
mendarat.
“Tenang
saja ... kita akan baik-baik saja.”
“E-Eh
...? Kita benar-benar jatuh, 'kan? Kita bisa saja mati ...!”
“Tenang
saja, aku akan melindungimu ... dan juga, aku tidak akan mati kok, kalau jatuh
dari ketinggian ... mungkin.”
“Mungkin?!”
“Yah,
tenang saja ... semuanya pasti baik-baik saja ... mungkin.”
Mendengar
kata itu kembali, raut wajah Putri Fiola menjadi ragu dan sedikit khawatir akan
nasibnya nanti. Mereka melayang di langit kerajaan Armenia yang hancur bagaikan
sepasang burung, tetapi karena tidak memiliki sayap tentu saja mereka akan
jatuh.
««»»
Brug!!
Robert
dan Fiola mendarat di daerah padang rumput dengan selamat. Sebuah kawah selebar
tiga meter lebih tercipta di tempat mereka mendarat, sedikit terbakar karena
aura hitam yang melindungi kedua orang itu saat jatuh. Tanpa menunggu lama,
Robert segera meloncat ke atas rerumputan dan keluar dari lubang sedalam satu
meter, kemudian langsung menurunkan Putri Fiola yang terlihat sedikit lemas
karena perjalanan tidak lazim yang baru saja dilaluinya.
Kaki
mekaniknya yang terbuat dari kayu dan keramik menyentuh rerumputan dengan
halus. Rambutnya yang indah bagaikan benang perak berkibar tertiup angin, kain
putih yang menutupi dirinya pun ikut berkibar tertiup dan sekilas
memperlihatkan sebagian kulit putih dan rapuh miliknya yang penuh luka goresan.
Untuk
beberapa alasan, Tuan Putri dari kerajaan yang runtuh itu memasang ekspresi
wajah sedih yang amat mendalam, matanya berkaca-kaca dan terlihat menahan
tangis. Tatapannya terus mengarah ke utara, tempat Ibukota kerajaan Armenia
berada. Mungkin untuk kedepannya kota penuh sejarah itu akan benar-benar
menjadi sebuah sejarah belaka nantinya, tetapi sejarah keberadaan kota tersebut
akan menjadi hal paling berharga bagi Fiola kelak di mana depan. Sebuah kota
yang menjadi tempat tinggalnya selama enam belas tahun lebih, sebuah kota di
mana keluarganya meninggal, dan merupakan tempat dirinya dilahirkan.
Sadar
akan kesedihan yang ada dalam raut wajah gadis itu, Robert memalingkan wajah
dan melihat ke arah rerumputan yang bergoyang tertiup angin. Sorot matanya
terlihat kosong dan seakan tidak peduli dengan
semua itu.
“Ya,
tak heran dia sedih. Kalau tidak salah dengar dari gadis komandan itu ... seluruh
keluarganya dibunuh, 'kan? Dan juga, Negeri tempatnya tinggal telah
dibumihanguskan. Kalau dia ingin bunuh diri pun aku rasa itu tidak aneh.”
Robert
kembali melihat ke arah gadis berambut putih keperakan itu, kemudian mengelus
kepalanya dari belakang, layaknya kasih sayang ayah pada anaknya. Merasakan
hangatnya tangan Robert, Fiola menunduk dan mulai menangis tersedu. Tak bisa
menahan kesedihan yang ada, Tuan Putri kerajaan Armenia itu meneteskan air mata
dalam keheningan, suaranya seakan terbawa bersama angin di padang rumput
tersebut.
Saat
mengingat kembali nasib Fiola, Robert sedikit merasa kalau apa yang dideritanya
di kehidupan sebelumnya tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan gadis
bertubuh mungil tersebut. Itu fakta, pada dasarnya dirinya dulu diberi
kesempatan untuk menjadi lebih kuat, tidak seperti Fiola saat ini.
“Ayahanda
... Ibunda ... Kakanda ... Harus bagaimana lagi ... saya harus bagaimana sekarang
...? Apa yang harus saya lakukan sekarnag ....?”
Gadis
itu berbalik dan langsung memeluk Robert yang berdiri di belakangnya. Robert
sedikit terkejut, tetapi entah mengapa pria itu merasa tidak keberatan akan hal
tersebut. Berusaha untuk memahami kesedihan gadis itu, pria tersebut balik
memeluknya dan ingin membuat Tuan Putri itu tenang. Ia mulai menangis lepas
dalam pelukan Robert, meluapkan semua kesedihannya yang ditahan selama ini pada
pria itu.
“Tuan
... saya harus bagaimana ...? Semua yang berharga dalam hidupku ... semuanya
telah lenyap ... Ayah saya ... Ibu saya ... Keluarga saya ... semuanya ...
semuanya telah lenyap ... saya tak punya alasan lagi untuk hidup di dunia ini.
Padahal Anda telah menyelamatkan nyawa ini, tapi ... tapi ....”
Gadis
itu tambah memeluk erat tubuh pria itu dan menangis dalam dekapannya. Robert
terdiam untuk sesaat, pertanyaan itu juga tidak bisa langsung dijawab Robert. Untuk
sekarang, pria tersebut memang tidak memiliki tujuan hidup sama seperti Fiola.
Meskipun telah diberi kehidupan kedua, Robert sama sekali belum memikirkan
untuk apa dan ke mana arah hidupnya nanti. Saat itu Ia terpikir sesuatu untuk
menebus dosa-dosanya di kehidupan sebelumnya. Ia tersenyum gelam dan memeluk
Fiola dengan lembut.
“Tidak
punya apa-apa lagi ...? Bicara apa kamu ini, bukannya kamu masih punya nyawa
untuk menjalani hidup. Kau tahu ... itu sudah lebih dari cukup ....”
Robert
mengelus kepala Fiola dan memberinya senyuman hangat yang amat palsu. Perkataan
yang pria itu berikan kepadanya itu adalah sebuah kemunafikan. Robert, pria itu
pada dasarnya sama sekali tidak menghargai sebuah konsep nyawa seperti
kehidupan dan kematian. Setelah merasakan rasa sakit serta penyesalan sebelum
mati, Robert hanya berharap tidak membuat kesalahan yang membuatnya menyesal di
akhir nantinya. Ia tidak benar-benar menganggap apa yang telah diperbuat di
kehidupan sebelumnya itu sepenuhnya kesalahan.
“Asalkan
kamu masih hidup, itu sudah cukup untuk memulai hal yang baru .... Mungkin ini
terdengar angkuh atau semacamnya, tapi ... hidup itu selalu dipenuhi oleh awal
dan akhir ... jika ada yang berakhir, itu berarti ada awal untuk sesuatu ....”
Putri
Fiola mendongak ke atas dan melihat wajah pria yang tersenyum dengan tulus di
mata gadis itu. Perkataan kali ini bukanlah sebuah kebohongan, Robert
benar-benar berpikir demikian. Tetapi ada satu hal yang berbeda baginya, di
mata Robert awal dan akhir adalah dua hal tidak terlalu berbeda. Bagi pria itu
awal, ataupun akhir bukanlah suatu hal yang terlalu penting. Yang penting
adalah bagaimana cara menjalaninya.
“Ta-Tapi
... saya ...!”
“Tak
perlu terburu-buru.” Robert kembali memeluk Fiola. “Cukup jalani saja ...,”
lanjutnya dengan suara lembut yang membuat rasa tenang pada diri Fiola. Mendengar
perkataan itu, entah mengapa Fiola merasa bahwa dirinya bisa mempercayai pria
yang telah menyelamatkannya itu. Hatinya
diluluhkan, dan tenggelam dalam hangatnya dekapan Robert. Tetapi Fiola salah
sangka, itu bukanlah rasa percaya yang murni seperti yang Ia kira. Hal yang ada
pada diri gadis itu pada dasarnya adalah karena salah satu Berkah yang dimiliki
Robert.
Selama
beberapa menit, mereka saling berpelukan sampai gadis itu benar-benar tenang
dan berhenti meneteskan ari mata. Saat dirinya telah merasa baikkan, Fiola
melepaskan pelukannya dan mengambil tiga langkah ke belakang, kemudian menatap
Robert dengan penuh harapan.
“Na-Nama
saya Fiola Resterus ... kalau boleh, bisakah Anda memberitahu saya nama Anda
...?”
Saat
melihat gadis itu bertanya dengan wajah dengan mata memerah dan masih sedikit
berlinang air mata, sesuatu perasaan aneh seakan ada yang menyentuh hati Robert.
Ekspresi itu sedikit mengingat dirinya dengan anak perempuannya, sorot mata dan
sifat memaksakan diri Fiola sangat mirip dengan Fiala. Entah itu hanya
permainan takdir, nama mereka yang hampir sama membuat Robert melihat sosok
anaknya dalam gadis berambut putih keperakan yang ada di hadapannya.
“Mirip,
sangat mirip .... sifatnya itu .... Walaupun tubuhnya kecil, gadis ini kuat
sekali ya, sungguh. Mungkin lebih kuat dari diriku.”
Robert
tersenyum kecil, lalu menjawab pertanyaannya dengan suara ringan dan ramah, “Hem,
namaku William Robert ... salam kenal, Fiola.”
Disaat
mereka bertukar senyum, angin kencang bertiup kencang ke arah mereka. Mengikuti
rumput ilalang yang ikut terbang tertiup angin, Robert mendongak ke atas dan
melihat langit biru yang cerah. Saat itulah Ia baru sadar masalah serius yang
sebenarnya.
“Eng,
ngomong-omong ... ini di mana?” pikir Robert.
“Ada
apa, Tuan Robert?” tanya Fiola.
“Tidak
... hanya saja ... ini di mana?”
“Eh?!
Tuan meloncat tanpa tahu akan pergi ke mana?”
“Yah....”
Robert memalingkan wajahnya dan sedikit merasa bersalah.
“Hem,
jika di sana arah kita datang adalah utara, berarti kita berada di selatan ...
Eng, melihat jarak loncatan tadi ... mungkin ini daerah Kerajaan Urue atau
Republik Sriana ....”
Mendengar
nama-nama yang asing tersebut, Robert mulai terlihat kebingungan.
“Ada
apa, Tuan Robert?” tanya Fiola.
“Tidak
... sebenarnya ....”
Setelah
itu Robert menjelaskan bahwa Ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dunia
ini, dan Ia sama sekali tidak tahu menahu tentang segala sesuatu yang terjadi
di benua tempat mereka berada. Fiola sempat ragu, tetapi saat melihat raut wajah
Robert yang sama sekali tidak berdusta, pada akhirnya Ia tidak punya pilihan
selain percaya.
“Sungguh
...? Padahal Anda sebelumnya ... dengan berani menyusup dan menyelamatkanku
.... Bahkan sampai-sampai ....”
“Jujur
saja itu hanya terbawa suasana,” jawab Robert dengan cepat. Ekspresi datar pria
itu membuat Fiola kebingungan, dan Ia merasa depresi akan nasib mereka nanti ke
depannya.
“Bagaimana
ini ...? Prajurit kekaisaran Vandal bisa saja akan segera datang dan menangkap
kita ...!” ucap Fiola.
“Yah,
tenang saja ... nanti juga beres. Saat situasi seperti ini, tenang adalah hal
yang terpenting. Tapi ya, pertama-tama sebaiknya kita ke kota atau desa
terdekat untuk mencari pakaian, terutama untukmu. Sebagai seorang pria sehat
jasmani rohani, rasanya membiarkan kamu terus seperti itu agak menyakitkan.”
Mendengar
perkataannya tersebut, Fiola melihat tubuhnya sendiri. Tuan Putri berambut
perak itu baru sadar kalau dirinya selama ini tidak mengenakan pakaian, dan
tubuhnya hanya ditutupi oleh selembar kain putih yang bahkan tidak bisa
menutupinya kulitnya secara penuh. Wajah gadis itu memerah seketika, dan Ia
langsung berjongkok sambil berusaha menutupi tubuh dengan kain.
“Maaf,
aku melihatnya,” ucap Robert dengan santai.
===============================
No comments:
Post a Comment