Sunday, February 17, 2019

[Skyrius 01] End of Country of Tyranny Armenia



Benua Primaria, sebuah daratan luas tempat tinggal beragam ras. Tanah itu kaya akan kekuatan kehidupan dan mistis bernama Mana, sebuah energi dari vitalitas dan alam yang melimpah di penjuru tempat. Dalam beberapa kasus, orang-orang juga menyebutnya dengan kekuatan sihir. Dari kekuatan tersebut, muncullah cara manipulasinya yang dibagi menjadi beberapa bidang seperti Penyihir, Ahli Bela Diri, Pendeta, Petapa, Kesatria, dan banyak lagi. Mereka menggunakan Kekuatan Sihir atau Mana untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Tetapi, layaknya sebuah pisau, itu juga merupakan komponen berbahaya tergantung pada penggunaannya. Energi mistis yang tersebar di seluruh daratan tersebut seiring berjalannya waktu digunakan untuk peperangan dan sifat destruksi lebih melekat padanya.


1400 Tahun Ikrar, Benua Primaria. Sudah lebih dari 14 abad setelah pasukan Iblis dikalahkan dan Raja Iblis disegel oleh Sang Pahlawan, tetapi kata perdamaian masih sangat jauh. Pada satu abad pertama setelah dibuatnya Ikrar oleh semua ras di benua memang kedamaian benar-benar ada, kemakmuran tersebar merata, dan semua rakyat tidak menderita. Tetapi, itu hanya sebuah perdamaian semu. Beberapa abad kemudian, janji para leluhur luntur dan peperangan kembali pecah dan tidak kunjung selesai. Bahkan sampai runtuhnya puluhan kerajaan dan kelahiran ratusan negeri, peperangan tidak kunjung usai.
Bukan hanya itu saja, dalam masa peperangan yang terus berlangsung beberapa abad dan para monster mulai aktif kembali dalam beberapa ratus tahun terakhir, peperangan malah bertambah parah dan sekarang hanya menyisakan lima negeri besar yang menguasai daratan Primaria. Kelima negeri itu antara lain adalah Kekaisaran Vandal, Kerajaan Armenia, Kerajaan Urue, Kerajaan Dhaka, dan Republik Sriana.
Sebuah negeri yang mengatasnamakan keadilan dan kesucian, Kekaisaran Vandal. Negeri monarki dengan bentuk kekaisaran yang dipimpin oleh individu tunggal yang dipuja dan selalu dianggap benar perkataannya. Merupakan negeri militer dan perdagangan jalur air yang terletak di daerah sekitar timur sampai timur laut benua. Memiliki empat musim, dikelilingi pegunungan dan laut yang subur dengan kekayaan alam. Negeri ini juga disebut dengan Kekaisaran Suci karena memang mendapat perlindungan dari salah satu Dewa Tertinggi.
Pada bagian tenggara benua, berdiri sebuah negeri di daerah antara pegunungan dan gurun pasir yang sangat luas bernama Kerajaan Urue. Bagian utara negeri ini berbetasan langsung dengan Kekaisaran dan sering terjadi konflik di perbatasan. Negeri ini meskipun memiliki daerah guru yang luas, tetapi dalam sumber daya minyak sangat tinggi dan menunjang dalam berbagai aspek terutama untuk kegiatan militer.
Pada barat daya benua, terdapat sebuah Negeri bernama Republik Sriana. Sebuah negeri yang menggunakan sisterna pemerintahan rakyat di mana masa jabatan sistem pemerintahannya diberlakukan dalam beberapa tahun sekali sebelum diganti. Meruapkan negeri paling toleran dan cenderung bersifat pasif serta mempertahankan wilayahnya secara diplomatik. Terletak di antara Kerajaan Armenia, Kerajaan Urue, dan Kerajaan Dhaka.
Kerajaan Armenia, sebuah negeri yang terletak di bagian utara benua. Menggunakan sistem monarki seperti kerajaan pada umumnya dan merupakan salah satu kerajaan tertua setelah Dhaka dan Kekaisaran Vandal yang merupakan kerajaan yang sudah ada sejak abad pertama Tahun Ikrar.
Pada perbatasan barat Armenia, atau lebih tepatnya di bagian barat laut Benua Priamaria terdapat sebuah negeri yang disebut juga sumber dari teknologi sihir, Kerajaan Dhaka. Negeri dengan luas paling kecil dari semua negeri tetapi paling maju dalam hal teknologi. Sistem pemerintahannya menggunakan monarki seperti kerajaan pada umurnya, tetapi raja mengalami pergantian secara tidak wajar dan tidak teratur menggunakan sistem unik yang hanya dimiliki oleh negeri tersebut.
Meskipun dari sekian banyak negeri yang ada sejak tahun Ikrar dimulai sekarang hanya tersisa lima negeri, tetapi itu tidak cukup untuk menyadarkan penghuni benua Priamaria kalau peperangan itu membawa kehancuran. Mereka memang mulai sadar akan keadilan dan moral yang harus dijunjung, tetapi orang-orang mengangkat pedang atas dasar kebenaran yang keliru, mengatasnamakan melindungi negeri sendiri untuk menjajah negeri lain.
Para bangsawan menggemuk, rakyat bertambah kurus, pemandangan itu bukanlah hal yang aneh di negara monarki atau republik. Lautan api menyala-nyala di dalam kota, desa-desa kecil dijarah bandit, bencana terjadi di mana-mana, semua itu juga bukanlah hal yang asing di dunia ini. Itulah dunia ini, sebuah daratan luas bernama Benua Primaria, sebuah negeri Pedang dan Sihir.
««»»
1401 Tahun Ikrar, pertengahan musim semi.
Kerajaan Armenia, sebuah negeri tirani besar yang terletak di bagian utara benua Primania. Di dunia dengan pedang dan sihir ini, kerajaan Armenia dulunya adalah sebuah negeri yang makmur dan disegani di penjuru benua. Tetapi, sekarang itu hanya tinggal menjadi sejarah semata dan menjadi catatan dalam kertas yang lapuk.
Negeri yang dulunya memiliki luas hampir sepertiga benua, sekarang telah mengalami banyak kemunduran dalam berbagai bidang. Sistem pemerintahan yang sudah bobrok, moral masyarakat yang mulai rusak, dan perekonomian yang merosot, semua itu adalah sebagian dari berbagai macam penyebab kemunduran kerajaan Armenia.
Rakyat yang menderita karena perang berkepanjangan dan kekalahan  terus menerus. Penarikan uang upeti yang tidak diiringi pembangunan membuat ekonomi kerajaan runtuh, dan hasil dari semua itu adalah kemiskinan yang menjamur di mana-mana sampai mencekik kencang leher rakyat kecil. Semua itu menjadi biasa dan lambat laun menjadi kebiasaan para kaum kelas atas untuk mengacuhkan rakyat kecil.
Perbudakan dan pelacuran terekspos jelas, tetapi pemerintah daerah dan Tuan Tanah tidak melakukan apa-apa dan malah mendukung dengan alasan meningkatkan keuangan kerajaan untuk berperang. Keluarga Bangsawan Kerajaan seakan tutup mata dengan kekacauan yang ada, sedangkan para Bangsawan dan Tuan Tanah di bawahnya semakin membuat kekacauan dan memperkaya diri sendiri dengan mengatasnamakan kerajaan.
Berbagai kekejaman dan ketidakadilan sudah menjadi biasa di negeri ini. Yang kuat berkuasa dan menginjak-injak hak yang lemah. Hukum rimba berlaku dan dilandasi sesuatu yang disebut moral dan hukum busuk. Para bangsawan yang serakah, serta rakyat yang dibuat menderita oleh mereka. Pemandangan seperti itu merupakan hal yang biasa di kerajaan Armenia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Tetapi, sekarang hal tersebut akan segera berakhir.
Di negeri yang menjual rakyatnya sendiri untuk kekayaan para bangsawan serakah, sekarang telah di ujung kehancuran. Sejak berperang melawan Negeri tetangga, Kekaisaran Vandal, yang puncaknya telah berlangsung selama tiga tahun terakhir, kerajaan Armenia terus menerus kalah dan sekarang luasnya hanya tersisa beberapa wilayah saja karena diambil alih.
Alasan kekaisaran Vandal, sebuah negeri Suci dan tertua yang mandiri itu menyerang kerajaan Armenia tidak lain karena serangan awal yang dimulai oleh kerajaan Armenia sendiri, yang dilakukan oleh kekaisaran hanyalah menyerang balik dan menghancurkan Negeri sombong dan kejam tersebut.
Sekarang, di bawah langit malam berbintang yang tertutup kepulan asap di Ibu Kota Kerajaan Armenia, Erteri, sebuah kota dengan dominasi bangunan-bangunan klasik yang terbuat dari batu bata tersebut telah diubah menjadi lautan api oleh kekaisaran. Laki-laki, perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, semuanya dibunuh tanpa pandang bulu. Kekaisaran dengan paham militer tegas benar-benar tidak memberi ampun kepada kerajaan Armenia.
Ibu Kota bersejarah yang berumur lebih dari 600 tahun itu sekarang menjadi seperti neraka yang datang dari kegelapan untuk menghukum penghuninya. Abu melayang ke udara bersama kobaran api, darah ditumpahkan di jalanan dan menguap terlahap kobaran dan arang.
Di tengah kota yang terbakar lautan api, berdiri tegak dan kokoh istana tempat tinggal Raja Kerajaan Armenia dan keluarganya. Di dalam istana itu terlihat puluhan prajurit Kekaisaran dan beberapa kelompok prajurit bayaran yang telah menyusup ke dalam istana untuk membunuh para bangsawan kerajaan dalam tahap akhir invasi.
Satu persatu bangsawan kerajaan Armenia dibunuh dengan kejam. Bukan hanya bangsawan, para pelayan dan orang-orang yang bekerja di istana itu juga tidak luput dari pembantaian.
“Bunuh semua bangsawan bajingan kerajaan Armenia!!”
“Cari!! Cari mereka!! Mereka pasti ada di dalam istana ini!!”
Teriak para prajurit kekaisaran Vandal dengan sangar. Mereka semua mengenakan zirah besi dengan penutup kepala, serta membawa senjata perang jarak dekat seperti pedang, kapak, dan tombak.
“Gadis kecil itu pasti belum lari terlalu jauh. Bunuh semua keturunan kerajaan biadab ini ... semuanya demi keadilan Yang Mulia Kekaisaran!”
Saat para prajurit Kekaisaran mencari Tuan Putri Kerajaan Armenia yang berhasil melarikan diri, di dalam ruang singgasana berdiri seorang gadis dengan sorot mata kosong. Rambutnya berwarna perak dan mengkilat saat terkena cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di ruangan tersebut.
Ia berdiri tegak, memegang pedang besar di tangan kanannya dan mengenakan gaun putih berlapis zirah pelindung. Gadis itu adalah petinggi militer Kekaisaran, salah satu Komandan Empat Arah yang memimpin pasukan pemusnahan kerajaan Armenia. Gadis komandan itu melihat ke arah kaca hias bergambar matahari dan bulan yang terletak di atas singgasana, kemudian menunjuknya. Seakan ada kekuatan mistis, kaca tersebut pecah dengan sendirinya dan kepingannya yang melayang jatuh berkelap-kelip terkena cahaya bulan purnama.
“Aku tidak akan membiarkan kamu lolos, Putri penuh dosa, Fiola Resterus. Atas nama keagungan Yang Mulia Kaisar, akan kupastikan kau mendapat hukuman yang setimpal. Oh, wahai tuanku ... tolonglah tunggulah persembahan akhir negeri laknat ini untukmu. Di ujung pertempuran tak bermoral ini ada keadilanmu, Yang Mulia Kaisar ....”
Ia berbalik, dan berjalan sambil menyeret pedang besar berlapis perak di lantai. Di bawah langit malam, di antara kobaran api yang membakar kota, jeritan-jeritan dari dalam istana terus terdengar bagaikan alunan melodi kehancuran yang membawa semuanya ke alam kematian.
««»»
Pada salah satu sudut bangunan istana yang dibangun dengan arsitektur klasik abad pertengahan, seorang gadis remaja berlari tergesa-gesa sambil membawa lentera kecil sebagai alat penerangan. Ia terlihat kesulitan berlari dengan gaun panjang yang ia kenakan, dan kakinya yang tidak mengenakan alas kaki penuh luka lecet.
Gadis itu adalah Tuan Putri Kerajaan Armenia, Fiola Resterus. Seorang Tuan Putri keturunan keluarga raja Resterus, dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Setelah kematian kakak laki-lakinya selama perang, Fiola secara tidak langsung menjadi calon penerus takhta. Tetapi karena memiliki berbagai kondisi khusus, Tuan Putri Fiola tidak diberikan hak sebagai calon penerus takhta, dan hak tersebut diberikan kepada adik perempuannya. Tetapi sekarang semua perselisihan politik dan kekuasaan itu tidak ada artinya, hampir seluruh keturunan Resterus telah tiada.
Dengan telanjang kaki, Putri Fiola terus berlari sambil meneteskan air mata. Masih dengan jelas teringat di benaknya saat-saat yang terjadi beberapa menit lalu, ketika seluruh keluarganya dibunuh dengan kejam oleh pasukan kekaisaran di depan matanya sendiri. Ayahnya dipenggal dengan pedang berlapis perak mengkilat dan kepalanya mengelilingi di karpet, mewarnai jalan menuju singgasana menjadi merah. Ibunya di tusuk dari belakang dan tubuhnya dipotong menjadi dua bagian, setelah itu bagian atasnya dipasak dengan tombak di dinding ruang takhta. Sedangkan adik kecilnya yang hendak kabur bersamanya, terpukul palu raksasa sampai tulang-tulangnya remuk dan tubuhnya dilempar keluar jendela ruang takhta yang terletak di lantai tiga istana. Semua hal tersebut terjadi sangat cepat di mata Fiola, bahkan sekarang dirinya tidak bisa menerima kenyataan kalau seluruh keluarganya telah tiada.
Mungkin lebih baik kalau dirinya ikut mati saat itu juga, itulah yang dirasakan Fiola saat berlari menyusuri lorong istana. Tetapi, raut wajah pelayan yang mengorbankan nyawanya untuk melindunginya dari tusukan tombak yang melayang ke arahnya saat itu tidak membiarkan Fiola menyerah. Rasa bersalah dan keharusan untuk hidup merantainya untuk tetap berlari, meronta dalam takdir kejam yang menyelimutinya.
“Ayahanda ... Ibunda ... Adinda .... Maaf Kakanda, saya ... tidak bisa menyelamatkan mereka semua, aku tidak sekuat Kakanda .... Dia .... gadis berambut perak itu terlalu mengerikan ...! Siapa pun ... tolong ....!”
Putri Fiola terus berlari menuju pintu keluar bagian belakang, menyusuri lorong istana yang gelap tanpa pencahayaan kecuali dari kobaran api yang melahap kota di luar sana. Kakinya sudah tidak kuat berlari, lecet parah mulai muncul dan mengeluarkan suara aneh dari sendi kakinya.
Dengan segenap harapan yang tersisa, Putri Fiola terus berlari sekuat tenaga. Berharap untuk hidup dan pergi dari istana seperti apa yang diharapkan keluarganya dan para pelayan istana kepadanya. Ia tidak tahu mau pergi ke mana setelah keluar, tetapi paling tidak sekarang dirinya harus pergi dari istana, itulah satu-satunya alasan yang membuatnya terus berlari.
Saat berada di persimpangan lorong, tanpa sengaja Putri Fiola berpapasan dengan tiga prajurit yang menyerang Kota Erteri dan menyelinap ke dalam istana. Mereka bukanlah prajurit kekaisaran, tetapi prajurit bayaran yang disewa dan ikut serta dalam serangan penghabisan Kerajaan Armenia ini.
“A ...!?”
Tuan Putri sentak terkejut dan berbalik arah untuk langsung berlari menjauh. Tetapi, langkah kakinya sangatlah lambat jika dibandingkan dengan ketiga prajurit yang ia temui itu. Rambut Putri Fiola ditarik dan tubuhnya dijatuhkan ke lantai oleh salah satu prajurit. Lentera terjatuh dan padam. Mulut gadis berusia sekitar 16 tahun itu dibungkam dengan kasar oleh prajurit tersebut, dan kedua tangan Fiola dicengkeram oleh prajurit lainnya yang ikut serta menindihi Tuan Putri tersebut. Dengan posisi terkapar tak berdaya, ia meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri.
“Pak, mau kita apakan gadis ini?” tanya orang yang membungkam mulut Fiola kepada orang yang berjalan mendekati mereka.
“Hem, apa akan kita gunakan dia untuk pemuas di markas atau ... kita jual, pak?” ucap rekannya.
“Hwm ...!! Hwmm!!” Fiola meronta, tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan pria yang menangkapnya.
“Kamu nafsu sekali, Nak Corner! Tentu saja kita akan menjualnya! Lagi pula di markas sudah ada banyak, 'kan?” ucap ketua dari kedua prajurit bayaran yang menjatuhkan dan membungkam Putri Fiola. Ketua mereka adalah Pria tua dengan jenggot pendek berwarna keputihan, terlihat seperti orang licik dan tanpa loyalitas sedikit pun.
“Ya, maaf pak!” jawab salah satu prajurit.
Ketiga orang itu bukanlah prajurit resmi dari Kekaisaran Vandal, melainkan sekelompok prajurit bayaran dari suatu serikat yang disewa untuk penyerangan kali ini, oleh karena itulah mereka terlihat tidak bermartabat dan rendah jika dibandingkan prajurit Kekaisaran lain.
“Huh ...? Kalau tidak salah, bukannya dia putri kedua kerajaan Armenia? Namanya siapa ya? Fi ... Fia ... Fiola Resterus, 'kan? Hem, ... kenapa gadis ini malah berada di sini? Bukannya si penggila keadilan itu sudah membantai seluruh anggota keluarga kerajaan? Hem, ... apa dia membiarkan kamu lolos? Ah, siapa peduli ...,” ucap pria tua dengan sedikit tatapan merendahkan.
Ia melihat ke kanan dan ke kiri dengan angkuh sambil memegang jenggotnya. Setelah berpikir dan mempertimbangkan hal-hal berbau uang dan keuntungan, pria itu memutuskan nasib Fiola.
“Hem ... aku rasa, dari pada diberikan kepada gadis penggila keadilan itu, memang lebih baik aku jual ke pasar budak saja. Untuk seukuran gadis bangsawan, mungkin kita akan dapat seribu atau dua ribu keping platinium ....”
Pria tua berjenggot itu berjongkok di depan Putri Fiola yang terbaring di lantai. Perlahan tangan pria tua itu meraba-raba wajah dan tubuh Putri Fiola. Gadis itu hanya bisa pasrah dan mengalirkan air mata. Wajahnya dijilat, dadanya diraba dan bagian pahanya dipegang-pegang.
“Hah, masih anak-anak, ya. Untuk gadis bangsawan dadamu terlalu kecil dan pahamu terlalu keras ... tapi, orang bejat yang punya selera seperti itu juga banyak juga, haha! Aku rasa hargamu di pasaran mungkin bisa sampai seribu lima ratus koin platinium? Yah, terserahlah! Yang penting dapat bonus untuk misi kali ini, lumayan ...,” ucap pria tua.
Syuu!
Tiba-tiba hawa dingin terasa oleh semua orang yang berada di persimpangan lorong istana itu. Angin bertiup aneh dan sumbernya datang dari seseorang yang berdiri di belakang pria tua.
“Hee ... semurah itukah harga Putri penuh dosa itu?” Suara serak dan mengerikan bergema di dalam lorong.
Pria tua itu menengok ke belakang, tetapi tanpa bisa melihat sosok yang berdiri di belakangnya, kepala pria tua langsung dipenggal oleh sosok dalam siluet tersebut.
Cret! Cruat!
Darah muncrat keluar dari tubuh tanpa kepala pria tua, dan sedikit membasahi wajah Putri Fiola yang terbaring di depannya dan zirah dua prajurit bayaran.
“Kyaa!!” jerit Putri Fiola.
Kedua pria yang memegangi Putri Fiola langsung melepaskannya dan meloncat ke belakang. Mereka berdua langsung menarik pedang dari sarungnya dan muai waspada. Tetapi sebelum mereka melawan balik, sebuah palu sebesar tong besar datang dari atas dan memukul tubuh salah satu prajurit.
Bruak!!
Tubuh prajurit itu remuk seketika, menjadi gumpalan daging yang hancur bersama lantai keramik. Melihat rekannya mati, prajurit satunya terlihat sangat marah dan menyerang sosok dalam kegelapan tersebut.
“Sialan!! Mati kau!!”
Prajurit itu melesat ke arah sosok yang berada di balik kegelapan. Tatapi, saat sekilas cahaya dari api yang menjilat-jilat di luar istana masuk melalui jendela dan menyinari sosok dalam bayangan, Prajurit terhenti, Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kau ... kenapa?”
Sesaat prajurit itu terlihat sangat terkejut dan terhenti melihat orang itu, tetapi mengingat apa yang telah orang itu lakukan pada ketua dan rekannya, prajurit tersebut meneruskan serangannya.
“Sialan kau!!”
Sebelum mata pedang mengenai sosok yang masuk kembali dalam sisi gelap ruangan itu, beberapa lingkaran sihir di lantai dan dinding muncul, kemudian mengeluarkan belasan rantai dengan ujung pasak runcing yang melesat dan menusuk prajurit tersebut. Rantai yang masuk dan menebus melalui dagingnya langsung melilit tubuhnya seakan rantai tersebut hidup.
Sreing! Crekt!
Ikatan rantai-rantai itu memulai mengencang dan meremas tubuhnya. Satu persatu tulangnya patah, dagingnya terkoyak, dan kedua tangannya belok ke arah yang salah.
“Si-Sialan kau!!”
Cratks!
Tulang-tulang prajurit tersebut remuk dan tengkorak kepalanya pecah. Saat rantai itu kembali masuk ke dalam lingkaran sihir dan menghilang, prajurit itu jatuh ke lantai dengan kondisi tak bernyawa.
Putri Fiola yang terbaring di atas lantai melihat ke arah orang yang telah membunuh ketiga prajurit bayaran tadi. Sosok yang tadinya tertutup siluet hitam perlahan mulai terlihat, dia adalah seorang gadis berambut perak pajang sepinggang yang terlihat anggun, mengenakan gaun berwarna perak berlapis zirah yang membuat sosok itu bertambah menawan tetapi terlihat kejam dengan sorot matanya yang gelap dan terasa hampa. Gadis itu adalah komandan kekaisaran Vandal, Alice Schneewittchen.
Perlahan Alice melihat ke arah Putri Fiola dengan mata merah menyala di dalam kegelapan. Tatapan itu membuat Fiola gemetar dan merangkak mundur. Dirinya masih ingat dengan jelas apa yang telah dilakukan gadis bermata merah itu saat di ruang tahta. Ia adalah orang membunuh seluruh anggota keluarganya tepat di depan matanya.
Putri Fiola langsung berdiri dan hendak kabur dari tempat itu. Tentu saja gadis komandan itu tidak membiarkannya pergi. Ia membuat lingkaran sihir di telapak tangan kanannya dan mengambil sebuah pedang satu tangan dengan ujung bercabang dua yang tumpul. Ia bergerak dengan cepat dan menghadang Putri Fiola. Tanpa berkata apa-apa, gadis komandan langsung mencekik Putri Fiola dan membenturkannya ke dinding menggunakan pedang dengan ujung bercabang.
“Jangan pikir kamu bisa lari, Putri penuh dosa,” ucapnya seraya menatap Putri Fiola dengan tatapan kosong. Fiola langsung merinding, badanya bergetar tidak karuan dan napasnya terasa berat.
“Kenapa ...? Kenapa kalian membunuh semuanya? Apa salah kami?”
Di tengah keputusasaan dan rasa ketidakberdayaan, air matanya mulai berlinang. Alice terkejut, meski begitu rasa belas kasihan tetap tidak tercermin dari sorot matanya.
“Salah? Apa kamu bergurau? Karena ketidakbecusan kalian para keluarga kerajaan Armenia, para bangsawan dan tuan tanah negeri ini mulai bertingkah sesuka hati mereka, lalu tanpa tahu diri ... mereka menancapkan taring mereka pada kekaisaran. Ini adalah hukuman dari kekaisaran suci!”
Gadis komandan memasukan pedang dengan ujung bercabang ke dalam lingkaran sihir dan mencekik leher Putri Fiola dengan tangan kanan, lalu membenturkan tubuhnya ke tembok kembali sampai kepalanya berdarah.
“Tapi tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kau akan menjadi pameran di balai kota untuk dijadikan contoh bagi mereka yang menentang kekaisaran. Ya ..., kurasa ini akan sangat cocok untuk orang penuh dosa seperti dirimu ini .....”
Gadis komandan tersenyum gelap dan ekspresi wajahnya terlihat sangat mengerikan. Sambil menangis tersedu, Putri Fiola dalam benak memohon.
“Siapa saja ... tolong aku ....”
««»»
Pada salah satu hutan di daerah kerajaan Armenia, seorang pemuda berambut pirang terbaring pada rerumputan di bawah pohon cemara besar berdaun rimbun. Pemuda itu tidak lain adalah Robert, seseorang jiwa yang telah direinkarnasikan ke dunia lain oleh Dewi penguasa kematian dan kehidupan, Violence.
Pria itu mengenakan kemeja putih polos yang terlihat sedikit kedodoran, dan bawahan celana hitam dengan ukuran pas. Robert sendiri tidak tahu dari mana dan kapan Ia memakai pakaian itu, tetapi karena menurut Violance  reinkarnasi ini bukanlah bentuk terlahir kembali tetapi memulai ulang kehidupan di tempat lain, Robert memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Saat berumur 20 tahunan memang dirinya sering mengenakan pakaian seperti itu, jadi dirinya tidak merasa aneh akan hal tersebut.
Suara dedaunan yang saling bergesekan tertiup angin, burung-burung berkicauan, dan udara yang sejuk membawa ketenangan baginya. Melalui sela dedaunan pepohonan, untuk sesaat pria itu merasa lega saat melihat langit tinggi dan cerah yang dihiasi awan putih. Ia berdiri, lalu dengan wajah suram dan terlihat malas sekali lagi menatap ke arah langit dengan rasa lega memenuhi dada. Entah mengapa dirinya terlihat rindu dengan pemandangan langit cerah tersebut.
“Nostalgia sekali .... Karena di tempat itu tidak ada langit, rasanya saat melihat ini sangat menenangkan hati. Sudah sangat lama aku tidak melihat langit yang seperti ini. Yah, di tempat penuh genangan air itu juga ada langit, tapi tidak seindah ini.”
Robert tersenyum bahagia. Ia merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena telah diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali. Walaupun rasa sesal di kehidupan sebelumnya tidaklah hilang sepenuhnya, tetapi paling tidak sekarang Ia bisa memulai awal barunya.
“Selain Berkah utama yang diberikan oleh Dewi itu padaku, kalau tidak salah aku juga menerima Berkah pemahaman bahasa dunia ini dan kemampuan belajar cepat ya? Tapi ..., jujur saja aku tidak tahu bagaimana kegunaan semua berkah itu. Terlebih lagi, Berkah? Apa itu semacam keajaiban?”
Robert kembali duduk di atas rerumputan dan bersandar pada pohon. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, tersenyum lega dan berpikir dengan sangat jernih. Semua emosi negatif pada dirinya benar-benar hampir tak ada, yang tersisa dalam diri pria itu hanya ketenangan saat ini.
“Semua Berkah itu, terutama tentang dua Berkah Utama yang rasanya mencurigakan seperti Karisma Penguasa Mutlak dan Perlindungan Dewi Violence .... Sebenarnya apa gunanya?”
Robert menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan lepas. Ia kembali berdiri dan meregangkan tubuh, meloncat-loncat dan melakukan pemanasan.
“Hem, baiklah ... dari pada berdiam diri di tempat ini, sebaiknya cepat-cepat pergi ke kota atau desa terdekat untuk mencari informasi. Dewi itu, dia benar-benar gak kasih informasi. Hem, tapi dilihat dari pakaian Dewi itu, kayaknya berasal dari abad pertengahan. Pastinya dunia ini juga peradabannya masih seperti itu, ‘kan?”
Robert melihat sekitar, tetapi tempat itu hanya dipenuhi oleh pepohonan dan tidak terlihat seorang pun di sekitar sana, bahkan mungkin tempat tersebut terlalu sunyi untuk disebut hutan. Di sekitarnya sama sekali tidak ada tanda-tanda hewan yang berkeliaran ataupun orang.
Seketika Robert memasang wajah datar karena bingung dengan arah yang Ia akan tuju. Sambil sekilas mengingat kembali perkataan Dewi Violence tentang [Utusan], Robert terdiam sesaat.
“Utusan, kata dewi itu aku tidak harus terlalu memikirkan hal itu. Asalkan aku terus hidup dengan tetap menjadi diriku sendiri itu sudah cukup, kalau tidak salah dia berkata seperti itu ... tapi apa maksudnya?”
Berusaha untuk mengalihkan pikiran dari kebingungan, Robert melihat ke arah matahari untuk memperkirakan arah dan letaknya sekarang, tetapi Ia langsung teringat kalau dirinya sedang berada di dunia yang berbada. Ia melihat letak matahari dan posisi bayangannya.
“Cara seperti ini juga bisa berguna di dunia lain? Dan juga bukannya cara ini berbeda Negara saja sudah sulit ..., apa lagi kalau beda dunia ... Ah, biarlah! Mending cepet gerak.”
Pada akhirnya, Robert memilih arah yang dianggapnya sebagai arah utara melalui penentuan letak dan pergerakan matahari. Pada saat berjalan menyusuri hutan, dirinya masih terus terpikir dengan perkataan-perkataan dari sosok yang memberikan kesempatan kedua kepadanya. Rasa tidak percaya dan meragukan orang lain sudah menjadi sifatnya, oleh karena itu dirinya tidak pernah menerima kebaikan orang lain secara cuma-cuma.
“Sebenarnya apa tujuannya memberikan kehidupan kedua ini padaku? Terlebih lagi, apa dia benar-benar seorang Dewi? Bukan Iblis yang menyamar, 'kan? Yah, apa pun itu yang pasti ada tujuan tertentu dari reinkarnasi ini. Tidak, daripada Reinkarnasi ... kurasa ini lebih mirip dengan Penghidupan Kembali, sebuah Reanimation? Tapi, aku tetap jadi lebih muda dari sebelumnya ....”
Robert terus berjalan menyusuri hutan penuh semak-semak selama beberapa jam. Dengan tanpa lelah, kakinya melangkah, tanpa rasa letih, dirinya terus berjalan. Ia melewati daerah bebatuan, sungai, dan bahkan sebuah danau kecil dengan pepohonan dengan buah-buahan yang tumbuh subur.
Setelah terus melangkahkan kaki, dari kejauhan Robert melihat sebuah dinding raksasa yang terbentang lebar dan menghalangi cakrawala. Dinding itu berwarna putih kusam terkena matahari dan memiliki beberapa menara dan meriam di bagian atasnya.
“Tingginya. Habis berapa buat bangun kayak gini ....”
Robert terkagum melihat dinding raksasa yang tingginya sekitar 12 meter tersebut. Dinding itu terlihat kokoh dan rapi, serta sedikit memancarkan energi panas aneh yang berasal dari sisi lain dinding. Pada permukaannya, terdapat motif arsitektur aneh dan tulisan-tulisan yang diukir dari dasar sampai puncaknya. Sekilas dirinya mengamatinya, tetapi ternyata itu bukan huruf melainkan sekumpulan simbol aneh seperti heksagram bertanduk dan berbagai bentuk persegi yang memiliki ciri hewan seperti taring, cakar, atau sejenisnya.
“Ini bukan pembatas dunia kehidupan dan akhirat seperti film fantasi yang pernah tonton, ‘kan? Semoga saja ada pintu masuknya. Masa harus tidur di luar di hari pertama di kehidupan baru ....”
Tanpa berpikir dua kali, Robert berjalan memutar untuk mencari jalan masuk ke dalam tembok. Tetapi saat ia sampai di gerbang masuk yang berupa pos penjagaan dengan beberapa prajurit, Ia langsung dihentikan oleh beberapa orang prajurit yang menjaga gerbang masuk. Para prajurit itu terlihat sangat was-was akan kehadiran Robert, dan mereka menodongkan tombak besi ke arahnya dengan rasa takut.
“Eh? Apa ini? Salah apa?” pikir Robert.
Ia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Walaupun begitu, para prajurit sama sekali tidak menurunkan tombak dan pedang mereka. Jumlah mereka lebih dari belasan, mengenakan zirah besi yang dicat merah, dan menggunakan senjata tajam bervariasi yang didominasi tombak.
“Siapa kau?! Untuk apa datang ke tempat ini?! Apa kamu sisa-sisa Kerajaan Armenia yang ingin merebut kembali kota Erteri ini?!” teriak salah satu prajurit.
Mendapat berbagai pertanyaan seperti itu, Robert hanya bisa terdiam sambil memasang wajah bingung. Walaupun Robert bisa memahami bahasanya berkat Berkah yang ada, tetapi Ia benar-benar tidak tahu dan tidak paham dengan apa yang dimaksudnya.
“Jawab!!” bentak salah satu prajurit.
Robert mengambil satu langkah ke depan, kemudian menjawab pertanyaan prajurit itu dengan nada sedikit cemas, “Bukan ..., aku bukan orang dari Kerajaan Armenia ... aku datang ke tempat ini karena tersesat ....” Matanya lekas mengamati sekitar dan menganalisis. Sambil memejamkan sesaat, pria tersebut menyimpulkan kalau dirinya tidak bisa keluar dari tempat itu dengan damai setelah melihat puing-puing bangunan yang ada di sekitar tempat itu.
“Jangan berbohong!! Setelah peperangan besar tadi malam mana mungkin ada orang yang tersesat ke kota besar ini! Jawab! Sebenarnya siapa kamu!!?” tanya salah satu prajurit dengan nada tinggi.
“Peperangan besar ya. Entah itu di dunia itu atau ini, peperangan mungkin sudah menjadi budaya manusia. Tidak, sejarah umat manusia lebih tepatnya ya. Tapi .., benar juga, sebenarnya apa yang telah terjadi di tempat ini, dan juga kenapa aku dipindahkan ke dekat tempat berbahaya seperti ini? Apanya yang tinggal hidup saja ....”
Robert memasang wajah datar. Untuk orang seperti dirinya, berada di antara orang dengan senjata yang digunakan untuk membunuh bukanlah hal yang asing. Untuk orang yang lahir di tempat penuh konflik regional seperti dirinya, darah, abu, api, dan mayat tidaklah membuatnya gentar atau kehilangan pemikiran rasional.
“Jawab! Monster! Kenapa orang dengan aura mengerikan sepertimu datang ke tempat ini?”
Robert kebingungan mendengar perkataannya. Ia mengangkat wajah dan melihat ke arah orang berzirah yang berteriak ke arahnya. Dari sela helm besi, matanya bertatapan dengan Robert dan membuat orang tersebut melangkah ke belakang dengan takut.
“Aura mengerikan? Apa wajah murungku terlihat seburuk itu? Kalau memang seperti itu, apa lebih baik aku memasang senyum bisnis seperti biasanya saja ya?”
Sambil melihat ke arah para prajurit yang menodongkan tombak, Robert membuat senyum munafik yang selalu Ia pasang saat bernegosiasi. Senyuman itu begitu alami, bahkan terlalu alami sampai terlihat menakutkan. Pada saat yang sama, pria itu secara tidak sadar mengeluarkan aura hitam yang amat mengerikan. Bentuknya seperti kabut meruncing, menyelimuti tubuh, dan terlihat seperti seekor monster yang berdiri di belakangnya.
“Ah!!” Semua prajurit gemetar ketakutan dan langsung mengangkat senjata mereka. Tanpa membiarkan Robert berkata lagi, kapten mereka mengangkat pedang tinggi-tinggi dan memberi aba-aba.
“Semuanya, serang!!”
“Eh?! Tunggu!”
Serentak para prajurit menusukkan tombak ke tubuh Robert. Pria itu tidak sempat menghindar dan terkena seluruh tusukan dan tebasan dari penjuru arah dengan telak. Darah tidak mengalir membasahi mata tombak atau pedang, pria itu masih berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan melindungi wajah.
Kratak!!
Ujung besi tombak-tombak yang digunakan untuk menyerangnya patah. Melihat itu, para prajurit merasa ketakutan dan melangkah mundur. Baik Robert ataupun para prajurit, mereka semua terlihat kebingungan.
“Begitu ya, jadi ini Berkah Tubuh Terbaik. Yah, walaupun masih tetap terasa sakit. Heh, Bukan berarti aku kebal terhadap rasa sakit⸻ eh?”
Rasa sakit yang tadi jelas terasa lenyap seketika. Hal tersebut merupakan salah satu efek Berkah Tubuh Terbaik dimana bisa menghilangkan segala kelainan pada tubuh, dan rasa sakit dianggap sebagai kelainan dan penyimpangan. Alasan Robert merasakan rasa sakit di awal adalah jeda yang ada saat proses penghilangan kelainan yang ada.
“Ba-Bagaimana mungkin! Itu tombak Suci yang ditempa oleh salah satu Komandan Agung, ke-kenapa bisa patah semudah itu!?” ucap salah satu prajurit.
Robert tidak mendengarkan perkataannya, Ia lebih memilih untuk mengamati tubuhnya yang tertusuk tombak. Selain pakaian yang berlubang, hanya muncul luka memar ringan dari serangan tadi. Tetapi, itu pun dalam hitungan detik luka tersebut mulai sembuh dan hilang tanpa bekas.
“Hem? Apa tadi Regenerasi?Bukannya hanya tubuh anti sakit-sakitan dan selalu dalam kondisi prima plus kekuatan fisik abnormal doang? Barusan itu ....?”
Pria itu sejenak memasang ekspresi datar dan berpikir. Setelah menemukan kesimpulan, pria itu tanpa sadar memasang senyum gelap mengerikan yang membuat para prajurit gemetar ketakutan.
“Ah ...? Benar juga, jangan-jangan karena itu ...?”
Robert teringat perkataannya sendiri saat ditawari memilih oleh Dewi penguasa Konsep Kematian dan Kehidupan untuk Berkah yang ingin didapat. Di antara berkah yang didapat, ada dua berkah yang terdengar mencurigakan. Mungkin berkah itu yang bisa memberikannya kemampuan pemulihan diri, itulah yang Robert pikirkan. Tetapi kenyataannya bukan itu, berkah yang melindungi Robert secara penuh dari serangan tombak tadi adalah Berkah Tubuh Terbaik adalah Berkah Perlindungan Dewi Violence saja.
“Hem, tubuh anti sakit-sakitan dan regenerasi? Gawat, bukannya itu mirip kayak abadi?”
“Apa yang kamu bicarakan sendiri!? Dasar monster!” bentak salah satu prajurit. Robert melirik dengan tajam, kemudian menghela napas dengan pasrah akan kondisinya saat ini. Ia melangkah maju kemudian angkat tangan sebagai tanda menyerah.
“Ti ⸻”
“Bawa rantai!!” perintah salah satu prajurit tanpa memedulikan Robert.
“Paling tidak dengerin kalau ada orang yang mau bicara,”pikir Robert.
Sebenarnya Ia juga ingin membentak mereka seperti dirinya membentak para bawahan yang terus mengobrol saat rapat, tetapi karena itu bisa memperburuk keadaan, pria itu lebih memilih menutup mulut rapat-rapat dan tetap diam.
Ia mengamati puing-puing bekas pertempuran. Dari komposisi bangunan yang terbuat dari batu  bata merah dan didominasi dari kayu, serta jalanan yang masih terbuat dari bebatuan yang disusun dan direkatkan, Robert menyimpulkan kalau peradaban dunia ini masih benar-benar tingkat abad pertengahan.
Kurang dari tiga menit, beberapa prajurit membawa rantai untuk mengikatnya. Rantai itu sangat besar seperti rantai sambungan truk gandeng, dan panjangnya sekitar lebih dari delapan meter.
“Kalau tidak ingin mati, jangan melawan!! Aku akan menyerahkanmu kepada komandan!” ucap salah satu prajurit.
Salah satu prajurit melemparkan rantai pada tubuh Robert dan ujung lainnya ditangkap oleh prajurit lain. Mereka berjalan memutar untuk mengikat tubuhnya. Setelah berputar lima kali dan mengikat Robert, ekspresi wajah mereka terlihat lega. Di mata Robert, orang-orang tersebut hanyalah sekumpulan orang dungu dan tidak berakal, meskipun berbalut zirah kuat dan mungkin terlihat seperti kesatria.
“Permisi, ... kalian sudah mengikatku seperti, 'kan? Jadi tidak masalah kalau kalian mendengarkan perkataanku seka ⸻”
“Hah!? Mana mungkin aku mendengarkan perkataan seorang monster!”
“Hahaha! Bodoh sekali! Aku baru lihat ada monster yang sukarela diikat! Blo’on! Tolol banget!”
“Bego! Sangat teramat bego!”
Mereka tertawa, mencemooh dalam rasa kegilaan dan kesenangan merendahkan orang lain. Robert sangat tahu apa yang disebut prajurit dengan moral rendah pasti seperti itu. Memang dalam pelatihan kebanyakan orang akan sangat disiplin dan mematuhi peraturan yang berada, tetapi setelah mereka ikut perang dan sadar kalau militer bukanlah semulia apa yang mereka anggap, sifat mereka bisa berubah lebih rendah dari penjahat dan bahkan binatang.
“Akh, sudah kuduga. Memang selalu seperti ini ya. Ya, aku tidak menyalahkan mereka sih, mungkin saja lingkungan yang salah ..., seperti halnya aku dulu.”
Robert memasang wajah datar, melihat mereka yang tertawa menggila. Aura hitam di sekitarnya kembali meluap keluar seperti kabut gelap, dan seketika menghentikan tawa mereka.

Ekspresi wajah Robert penuh ketenangan dan sama sekali tidak ada rasa takut, itu ekspresi yang hanya dimiliki orang yang mempunyai kekuatan besar saja. Para prajurit tak bermoral itu tahu akan hal tersebut, raut wajah yang ada pada pria itu adalah wajah seorang yang yakin bisa menang.
Crang!
Dengan mudahnya Robert memutuskan rantai yang mengikat tubuhnya seperti halnya memutuskan sebuah benang. Semua prajurit di tempat itu panik dan melangkah mundur. Karena penasaran akan perkataan mereka yang terus memanggilnya monster, Robert mengambil patahan besi tajam dari ujung tombak yang tadi hancur.
Saat melihat cerminan dirinya pada patahan besi tajam, Robert terkejut melihat sosoknya sendiri. Di sana memang terpantul sosoknya dengan penampilan remaja, dengan aura hitam pekat menyelimuti tubuhnya dan menggelora bagaikan api membara. Bercampur dengan aura hitam yang tercermin, Robert sekilas merasakan tatapan asing yang seakan mengawasinya.
 “Apa tadi ....?” pikir Robert. Saat ia hendak mengamati lagi, sebuah tombak melesat ke arahnya. Refleksnya dengan cepat bereaksi. Dengan punggung tangan kiri, Robert memukul mata tombak yang melesat ke arahnya dan secara tidak sengaja terpental ke arah prajurit yang berdiri beberapa langkah di kanannya.
Cratk! Tombak tersebut menembus zirah sampai punggung.
 “Ah ..., maaf,” ucap Robert sambil menjatuhkan kepingan besi yang digunakan untuk berkaca tadi.
Prajurit tersebut berlutut dengan darah yang mengucur keluar dari perut yang tertusuk tombak. Ia berusaha menarik tombak, tetapi karena terjepit zirah yang rusak mata tombaknya, itu sukar dicabut. Ia kewalahan dan akhirnya terbaring lemas karena kehilangan banyak darah. Melihat itu, beberapa prajurit lekas berlari menolong dan beberapa lagi langsung menatap Robert dan bersiap menyerangnya.
Saat masih bingung dengan kejadian tadi, para prajurit yang mengepung Robert dan mulai menyerang secara serentak. Refleks Robert bereaksi secara ekstrem dan menghindari setiap tombak yang ditusukkan ke arahnya. Ia melangkah mundur untuk menghindari tusukan pertama dari depan, kemudian menunduk untuk menghindari dua tusukan dari belakang. Saat mereka menjaga jarak dan digantikan oleh prajurit lain yang menyerang dari empat arah, secara refleks Robert melompat untuk menghindari tusukan tombak-tombak tersebut meskipun Ia tahu kalau dirinya tidak akan luka. Saat itu kejadian aneh terjadi, awalnya ia berencana meloncat ringan untuk menghindari tusukan tombak dan mematahkannya dengan menginjaknya, tetapi tanpa sadar Robert meloncat setinggi 12 meter.
Dass!
“A!!” Robert menganga saat melayang di udara. “Aaaaa!!” Dengan cepat Ia jatuh dan membentur tanah dengan keras.
Bekh!!
Dengan wajah panik Robert langsung berdiri, dan memastikan tidak ada yang aneh pada tubuhnya. Tetapi, saat melihat tangan kanan, seketika raut wajah berubah panik karena tangannya itu patah. Ia berlutut menahan rasa sakit dan mulai bersujud seraya mengangkat tangannya yang patah ke atas. Ia menggigit bibir sampai berdarah dan berguling. Melihat itu, para prajurit menjauh dan menghentikan serangan.
Tetapi, beberapa detik kemudian tangannya yang patah mengeluarkan suara aneh seperti tulang yang dipaksa kembali ke posisi semula. Saat Robert berdiri dan kembali melihat tangannya yang patah, itu kembali seperti semula dan rasa sakit yang tadi dirasakan benar-benar menghilang.
“Ha ... haha, uwahah!! Ternyata begitu ya .... Sialan sakit banget tadi! Berkah ini ....”
Menyadari sesuatu, Robert tersenyum gelap. Ia merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan melihat ke langit. “Ah, begitu ya!!” teriaknya dengan suara lantang. Ia tidak bermaksud apa-apa selain membuat gertakan untuk menakuti para prajurit. Pada dasarnya, Robert tidak menyerang mereka bukan karena dirinya tidak bisa menang, tetapi karena di kehidupan keduanya ini Ia tidak ingin berbuat kesalahan. Mungkin mereka biadab, tetapi para prajurit itu adalah orang-orang yang berjuang demi tanah air mereka. Mempertimbangkan hal tersebut, Robert memilih untuk tidak melakukan tindak kekerasan.
“Yah, dengan kekuatan fisik ini ..., tidak diragukan lagi kalau sekali hajar mereka bisa mati. Lebih baik cari cara damai,” pikir Robert.
Setelah berpikir beberapa hal, ada satu cara untuk mengakhiri situasinya sekarang tanpa membunuh siapa pun. Hal tersebut sangat sederhana dan hanya bisa dilakukannya yang telah mendapat kekuatan fisik diluar nalar.
Ia berancang-ancang dengan tinjunya, menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan tenaga. Tanpa disadari, aura hitam mulai keluar kembali dan menyelimuti kepalan tangannya. Rambutnya yang dulunya berwarna pirang gelap mulai sedikit menghitam. Tanpa menahan sama sekali, Robert langsung memukul permukaan tangan dengan sekuat tenaga.
Buak! Krakrkak!!
Permukaan tanah mulai retak dan hancur, kemudian runtuh sampai saluran irigasi yang ada di bawah tanah. Para prajurit bergelimpangan dan terjun bebas ke bawah bersama puing-puing. Menggunakan bebatuan jalan yang ikut runtuh sebagai pijakan, Robert meloncat dengan tanpa bisa mengatur tenaga.
Brudak! Bruak! Bruakrak!! Tang!!
Tubuhnya menabrak atap gorong-gorong irigasi bawah tanah yang tidak runtuh sampai jebol ke atas, kemudian terus lurus melesat tak terhenti dan menjebol beberapa bangunan sebelum menabrak lonceng besar pada menara di tengah kota dan berhenti.
Tubuhnya menempel pada lonceng yang dengan posisi terbalik, lonceng tersebut berdentang ke penjuru kota dan membuat setiap prajurit Kekaisaran Vandal terkejut. Robert jatuh dari lonceng dan melesat turun sampai lantai dasar. Saat akan menyentuh tanah, aura hitam keluar dari tubuhnya dan melindunginya dari benturan. Ia mendarat dengan aman dan terlihat kebingungan.
Ia memeriksa tubuhnya dan terkejut karena tidak ada satu pun luka seperti sebelumnya. Robert tidak terlalu tahu alasannya dan dirinya sadar kalau sekarang bukan saatnya memikirkan hal semacam itu. Sambil berjalan ke luar dari menara lonceng, Ia juga menyadari kalau sesuatu yang bernama Berkah itu bisa berkembang seiring berjalannya waktu.
“Sepertinya aku harus berlatih untuk mengembalikan berkah ini .... Tadi itu, memang sangat berlebihan ya ....”
Pada tempatnya berdiri, melalui bangunan-bangunan yang mulai roboh karena ditabraknya, Robert melihat gerbang kota dari dinding raksasa tempatnya berada tadi runtuh dan membuat suara sangat keras. Dari hal tersebut, kesimpulannya sedikit berubah. Berkah bukanlah berkembang, tetapi hanya bagaimana caranya menggunakan itu bisa bertambah kuat dan efektif. Dengan kata lain, alasan Robert tangannya patah setelah meloncat tetapi malah tidak terluka sama sekali setelah menubruk beberapa tembok bangunan adalah karena dirinya belum beradaptasi dengan Berkah dan belum menguasainya.
Dialihkan pikirannya oleh suara para prajurit yang mulai ribut di sekitar tempatnya berdiri, Robert memasang ekspresi datar seraya menghela napas penuh rasa sesal.
“Hem ... kalau begitu, ... kabur ah,” ucap Robert dengan wajah datar.

Informasi:
[Sistem uang] {Awal}
10 koin perunggu = 1 koin perak.
10 koin perak= 1 koin emas.
10 koin emas = 1 koin platinium.

No comments:

Post a Comment

[06] Kota pesisir (Bagian 02)

Dini harinya, saat matahari belum muncul dan embun-embun masih melayang bersama udara segar. Selekas beranjak dari tempat tidur dan mandi,...