Benua
Primaria, sebuah daratan luas tempat tinggal beragam ras. Tanah itu kaya akan
kekuatan kehidupan dan mistis bernama Mana,
sebuah energi dari vitalitas dan alam yang melimpah di penjuru tempat.
Dalam beberapa kasus, orang-orang juga menyebutnya dengan kekuatan sihir. Dari
kekuatan tersebut, muncullah cara manipulasinya yang dibagi menjadi beberapa bidang seperti Penyihir, Ahli Bela
Diri, Pendeta, Petapa, Kesatria, dan banyak lagi. Mereka menggunakan Kekuatan
Sihir atau Mana untuk menunjang
kegiatan sehari-hari. Tetapi, layaknya sebuah pisau, itu juga merupakan
komponen berbahaya tergantung pada penggunaannya. Energi mistis yang tersebar di
seluruh daratan tersebut seiring berjalannya waktu digunakan untuk peperangan
dan sifat destruksi lebih melekat padanya.
1400
Tahun Ikrar, Benua Primaria. Sudah lebih dari 14 abad setelah pasukan Iblis
dikalahkan dan Raja Iblis disegel oleh Sang Pahlawan, tetapi kata perdamaian masih
sangat jauh. Pada satu abad pertama setelah dibuatnya Ikrar oleh semua ras di
benua memang kedamaian benar-benar ada, kemakmuran tersebar merata, dan semua
rakyat tidak menderita. Tetapi, itu hanya sebuah perdamaian semu. Beberapa abad
kemudian, janji para leluhur luntur dan peperangan kembali pecah dan tidak
kunjung selesai. Bahkan sampai runtuhnya puluhan kerajaan dan kelahiran ratusan
negeri, peperangan tidak kunjung usai.
Bukan
hanya itu saja, dalam masa peperangan yang terus berlangsung beberapa abad dan
para monster mulai aktif kembali dalam beberapa ratus tahun terakhir, peperangan
malah bertambah parah dan sekarang hanya menyisakan lima negeri besar yang
menguasai daratan Primaria. Kelima negeri itu antara lain adalah Kekaisaran
Vandal, Kerajaan Armenia, Kerajaan Urue, Kerajaan Dhaka, dan Republik Sriana.
Sebuah
negeri yang mengatasnamakan keadilan dan kesucian, Kekaisaran Vandal. Negeri
monarki dengan bentuk kekaisaran yang dipimpin oleh individu tunggal yang
dipuja dan selalu dianggap benar perkataannya. Merupakan negeri militer dan
perdagangan jalur air yang terletak di daerah sekitar timur sampai timur laut
benua. Memiliki empat musim, dikelilingi pegunungan dan laut yang subur dengan
kekayaan alam. Negeri ini juga disebut dengan Kekaisaran Suci karena memang
mendapat perlindungan dari salah satu Dewa Tertinggi.
Pada
bagian tenggara benua, berdiri sebuah negeri di daerah antara pegunungan dan
gurun pasir yang sangat luas bernama Kerajaan Urue. Bagian utara negeri ini
berbetasan langsung dengan Kekaisaran dan sering terjadi konflik di perbatasan.
Negeri ini meskipun memiliki daerah guru yang luas, tetapi dalam sumber daya
minyak sangat tinggi dan menunjang dalam berbagai aspek terutama untuk kegiatan
militer.
Pada
barat daya benua, terdapat sebuah Negeri bernama Republik Sriana. Sebuah negeri
yang menggunakan sisterna pemerintahan rakyat di mana masa jabatan sistem
pemerintahannya diberlakukan dalam beberapa tahun sekali sebelum diganti.
Meruapkan negeri paling toleran dan cenderung bersifat pasif serta
mempertahankan wilayahnya secara diplomatik. Terletak di antara Kerajaan
Armenia, Kerajaan Urue, dan Kerajaan Dhaka.
Kerajaan
Armenia, sebuah negeri yang terletak di bagian utara benua. Menggunakan sistem
monarki seperti kerajaan pada umumnya dan merupakan salah satu kerajaan tertua
setelah Dhaka dan Kekaisaran Vandal yang merupakan kerajaan yang sudah ada
sejak abad pertama Tahun Ikrar.
Pada
perbatasan barat Armenia, atau lebih tepatnya di bagian barat laut Benua
Priamaria terdapat sebuah negeri yang disebut juga sumber dari teknologi sihir,
Kerajaan Dhaka. Negeri dengan luas paling kecil dari semua negeri tetapi paling
maju dalam hal teknologi. Sistem pemerintahannya menggunakan monarki seperti
kerajaan pada umurnya, tetapi raja mengalami pergantian secara tidak wajar dan
tidak teratur menggunakan sistem unik yang hanya dimiliki oleh negeri tersebut.
Meskipun
dari sekian banyak negeri yang ada sejak tahun Ikrar dimulai sekarang hanya
tersisa lima negeri, tetapi itu tidak cukup untuk menyadarkan penghuni benua
Priamaria kalau peperangan itu membawa kehancuran. Mereka memang mulai sadar
akan keadilan dan moral yang harus dijunjung, tetapi orang-orang mengangkat
pedang atas dasar kebenaran yang keliru, mengatasnamakan melindungi negeri
sendiri untuk menjajah negeri lain.
Para
bangsawan menggemuk, rakyat bertambah kurus, pemandangan itu bukanlah hal yang
aneh di negara monarki atau republik. Lautan api menyala-nyala di dalam kota,
desa-desa kecil dijarah bandit, bencana terjadi di mana-mana, semua itu juga
bukanlah hal yang asing di dunia ini. Itulah dunia ini, sebuah daratan luas
bernama Benua Primaria, sebuah negeri Pedang dan Sihir.
««»»
1401 Tahun Ikrar,
pertengahan musim semi.
Kerajaan
Armenia, sebuah negeri tirani besar yang terletak di bagian utara benua Primania.
Di dunia dengan pedang dan sihir ini, kerajaan Armenia dulunya adalah sebuah
negeri yang makmur dan disegani di penjuru benua. Tetapi, sekarang itu hanya
tinggal menjadi sejarah semata dan menjadi catatan dalam kertas yang lapuk.
Negeri
yang dulunya memiliki luas hampir sepertiga benua, sekarang telah mengalami
banyak kemunduran dalam berbagai bidang. Sistem pemerintahan yang sudah bobrok,
moral masyarakat yang mulai rusak, dan perekonomian yang merosot, semua itu
adalah sebagian dari berbagai macam penyebab kemunduran kerajaan Armenia.
Rakyat
yang menderita karena perang berkepanjangan dan kekalahan terus menerus. Penarikan uang upeti yang
tidak diiringi pembangunan membuat ekonomi kerajaan runtuh, dan hasil dari
semua itu adalah kemiskinan yang menjamur di mana-mana sampai mencekik kencang leher
rakyat kecil. Semua itu menjadi biasa dan lambat laun menjadi kebiasaan para
kaum kelas atas untuk mengacuhkan rakyat kecil.
Perbudakan
dan pelacuran terekspos jelas, tetapi pemerintah daerah dan Tuan Tanah tidak
melakukan apa-apa dan malah mendukung dengan alasan meningkatkan keuangan
kerajaan untuk berperang. Keluarga Bangsawan Kerajaan seakan tutup mata dengan
kekacauan yang ada, sedangkan para Bangsawan dan Tuan Tanah di bawahnya semakin
membuat kekacauan dan memperkaya diri sendiri dengan mengatasnamakan kerajaan.
Berbagai
kekejaman dan ketidakadilan sudah menjadi biasa di negeri ini. Yang kuat
berkuasa dan menginjak-injak hak yang lemah. Hukum rimba berlaku dan dilandasi
sesuatu yang disebut moral dan hukum busuk. Para bangsawan yang serakah, serta
rakyat yang dibuat menderita oleh mereka. Pemandangan seperti itu merupakan hal
yang biasa di kerajaan Armenia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Tetapi, sekarang hal tersebut akan segera berakhir.
Di
negeri yang menjual rakyatnya sendiri untuk kekayaan para bangsawan serakah,
sekarang telah di ujung kehancuran. Sejak berperang melawan Negeri tetangga,
Kekaisaran Vandal, yang puncaknya telah berlangsung selama tiga tahun terakhir,
kerajaan Armenia terus menerus kalah dan sekarang luasnya hanya tersisa
beberapa wilayah saja karena diambil alih.
Alasan
kekaisaran Vandal, sebuah negeri Suci dan tertua yang mandiri itu menyerang
kerajaan Armenia tidak lain karena serangan awal yang dimulai oleh kerajaan Armenia
sendiri, yang dilakukan oleh kekaisaran hanyalah menyerang balik dan
menghancurkan Negeri sombong dan kejam tersebut.
Sekarang,
di bawah langit malam berbintang yang tertutup kepulan asap di Ibu Kota
Kerajaan Armenia, Erteri, sebuah kota dengan dominasi bangunan-bangunan klasik
yang terbuat dari batu bata tersebut telah diubah menjadi lautan api oleh
kekaisaran. Laki-laki, perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, semuanya
dibunuh tanpa pandang bulu. Kekaisaran dengan paham militer tegas benar-benar
tidak memberi ampun kepada kerajaan Armenia.
Ibu
Kota bersejarah yang berumur lebih dari 600 tahun itu sekarang menjadi seperti
neraka yang datang dari kegelapan untuk menghukum penghuninya. Abu melayang ke
udara bersama kobaran api, darah ditumpahkan di jalanan dan menguap terlahap
kobaran dan arang.
Di
tengah kota yang terbakar lautan api, berdiri tegak dan kokoh istana tempat
tinggal Raja Kerajaan Armenia dan keluarganya. Di dalam istana itu terlihat
puluhan prajurit Kekaisaran dan beberapa kelompok prajurit bayaran yang telah
menyusup ke dalam istana untuk membunuh para bangsawan kerajaan dalam tahap
akhir invasi.
Satu
persatu bangsawan kerajaan Armenia dibunuh dengan kejam. Bukan hanya bangsawan,
para pelayan dan orang-orang yang bekerja di istana itu juga tidak luput dari
pembantaian.
“Bunuh
semua bangsawan bajingan kerajaan Armenia!!”
“Cari!!
Cari mereka!! Mereka pasti ada di dalam istana ini!!”
Teriak
para prajurit kekaisaran Vandal dengan sangar. Mereka semua mengenakan zirah
besi dengan penutup kepala, serta membawa senjata perang jarak dekat seperti
pedang, kapak, dan tombak.
“Gadis
kecil itu pasti belum lari terlalu jauh. Bunuh semua keturunan kerajaan biadab
ini ... semuanya demi keadilan Yang Mulia Kekaisaran!”
Saat
para prajurit Kekaisaran mencari Tuan Putri Kerajaan Armenia yang berhasil
melarikan diri, di dalam ruang singgasana berdiri seorang gadis dengan sorot
mata kosong. Rambutnya berwarna perak dan mengkilat saat terkena cahaya bulan
yang masuk melalui jendela besar di ruangan tersebut.
Ia
berdiri tegak, memegang pedang besar di tangan kanannya dan mengenakan gaun
putih berlapis zirah pelindung. Gadis itu adalah petinggi militer Kekaisaran,
salah satu Komandan Empat Arah yang memimpin pasukan pemusnahan kerajaan
Armenia. Gadis komandan itu melihat ke arah kaca hias bergambar matahari dan
bulan yang terletak di atas singgasana, kemudian menunjuknya. Seakan ada
kekuatan mistis, kaca tersebut pecah dengan sendirinya dan kepingannya yang
melayang jatuh berkelap-kelip terkena cahaya bulan purnama.
“Aku
tidak akan membiarkan kamu lolos, Putri penuh dosa, Fiola Resterus. Atas nama
keagungan Yang Mulia Kaisar, akan kupastikan kau mendapat hukuman yang setimpal.
Oh, wahai tuanku ... tolonglah tunggulah persembahan akhir negeri laknat ini
untukmu. Di ujung pertempuran tak bermoral ini ada keadilanmu, Yang Mulia
Kaisar ....”
Ia
berbalik, dan berjalan sambil menyeret pedang besar berlapis perak di lantai. Di
bawah langit malam, di antara kobaran api yang membakar kota, jeritan-jeritan
dari dalam istana terus terdengar bagaikan alunan melodi kehancuran yang
membawa semuanya ke alam kematian.
««»»
Pada
salah satu sudut bangunan istana yang dibangun dengan arsitektur klasik abad
pertengahan, seorang gadis remaja berlari tergesa-gesa sambil membawa lentera
kecil sebagai alat penerangan. Ia terlihat kesulitan berlari dengan gaun
panjang yang ia kenakan, dan kakinya yang tidak mengenakan alas kaki penuh luka
lecet.
Gadis
itu adalah Tuan Putri Kerajaan Armenia, Fiola Resterus. Seorang Tuan Putri
keturunan keluarga raja Resterus, dan merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara. Setelah kematian kakak laki-lakinya selama perang, Fiola secara
tidak langsung menjadi calon penerus takhta. Tetapi karena memiliki berbagai
kondisi khusus, Tuan Putri Fiola tidak diberikan hak sebagai calon penerus
takhta, dan hak tersebut diberikan kepada adik perempuannya. Tetapi sekarang
semua perselisihan politik dan kekuasaan itu tidak ada artinya, hampir seluruh
keturunan Resterus telah tiada.
Dengan
telanjang kaki, Putri Fiola terus berlari sambil meneteskan air mata. Masih
dengan jelas teringat di benaknya saat-saat yang terjadi beberapa menit lalu,
ketika seluruh keluarganya dibunuh dengan kejam oleh pasukan kekaisaran di
depan matanya sendiri. Ayahnya dipenggal dengan pedang berlapis perak mengkilat
dan kepalanya mengelilingi di karpet, mewarnai jalan menuju singgasana menjadi
merah. Ibunya di tusuk dari belakang dan tubuhnya dipotong menjadi dua bagian, setelah
itu bagian atasnya dipasak dengan tombak di dinding ruang takhta. Sedangkan
adik kecilnya yang hendak kabur bersamanya, terpukul palu raksasa sampai
tulang-tulangnya remuk dan tubuhnya dilempar keluar jendela ruang takhta yang
terletak di lantai tiga istana. Semua hal tersebut terjadi sangat cepat di mata
Fiola, bahkan sekarang dirinya tidak bisa menerima kenyataan kalau seluruh
keluarganya telah tiada.
Mungkin
lebih baik kalau dirinya ikut mati saat itu juga, itulah yang dirasakan Fiola
saat berlari menyusuri lorong istana. Tetapi, raut wajah pelayan yang
mengorbankan nyawanya untuk melindunginya dari tusukan tombak yang melayang ke
arahnya saat itu tidak membiarkan Fiola menyerah. Rasa bersalah dan keharusan
untuk hidup merantainya untuk tetap berlari, meronta dalam takdir kejam yang
menyelimutinya.
“Ayahanda
... Ibunda ... Adinda .... Maaf Kakanda, saya ... tidak bisa menyelamatkan
mereka semua, aku tidak sekuat Kakanda .... Dia .... gadis berambut perak itu
terlalu mengerikan ...! Siapa pun ... tolong ....!”
Putri
Fiola terus berlari menuju pintu keluar bagian belakang, menyusuri lorong
istana yang gelap tanpa pencahayaan kecuali dari kobaran api yang melahap kota
di luar sana. Kakinya sudah tidak kuat berlari, lecet parah mulai muncul dan
mengeluarkan suara aneh dari sendi kakinya.
Dengan
segenap harapan yang tersisa, Putri Fiola terus berlari sekuat tenaga. Berharap
untuk hidup dan pergi dari istana seperti apa yang diharapkan keluarganya dan
para pelayan istana kepadanya. Ia tidak tahu mau pergi ke mana setelah keluar,
tetapi paling tidak sekarang dirinya harus pergi dari istana, itulah
satu-satunya alasan yang membuatnya terus berlari.
Saat
berada di persimpangan lorong, tanpa sengaja Putri Fiola berpapasan dengan tiga
prajurit yang menyerang Kota Erteri dan menyelinap ke dalam istana. Mereka
bukanlah prajurit kekaisaran, tetapi prajurit bayaran yang disewa dan ikut
serta dalam serangan penghabisan Kerajaan Armenia ini.
“A
...!?”
Tuan
Putri sentak terkejut dan berbalik arah untuk langsung berlari menjauh. Tetapi,
langkah kakinya sangatlah lambat jika dibandingkan dengan ketiga prajurit yang
ia temui itu. Rambut Putri Fiola ditarik dan tubuhnya dijatuhkan ke lantai oleh
salah satu prajurit. Lentera terjatuh dan padam. Mulut gadis berusia sekitar 16
tahun itu dibungkam dengan kasar oleh prajurit tersebut, dan kedua tangan Fiola
dicengkeram oleh prajurit lainnya yang ikut serta menindihi Tuan Putri tersebut.
Dengan posisi terkapar tak berdaya, ia meronta-ronta dan berusaha melepaskan
diri.
“Pak,
mau kita apakan gadis ini?” tanya orang yang membungkam mulut Fiola kepada
orang yang berjalan mendekati mereka.
“Hem,
apa akan kita gunakan dia untuk pemuas di markas atau ... kita jual, pak?” ucap
rekannya.
“Hwm
...!! Hwmm!!” Fiola meronta, tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan
pria yang menangkapnya.
“Kamu
nafsu sekali, Nak Corner! Tentu saja kita akan menjualnya! Lagi pula di markas
sudah ada banyak, 'kan?” ucap ketua dari kedua prajurit bayaran yang
menjatuhkan dan membungkam Putri Fiola. Ketua mereka adalah Pria tua dengan
jenggot pendek berwarna keputihan, terlihat seperti orang licik dan tanpa
loyalitas sedikit pun.
“Ya,
maaf pak!” jawab salah satu prajurit.
Ketiga
orang itu bukanlah prajurit resmi dari Kekaisaran Vandal, melainkan sekelompok
prajurit bayaran dari suatu serikat yang disewa untuk penyerangan kali ini,
oleh karena itulah mereka terlihat tidak bermartabat dan rendah jika
dibandingkan prajurit Kekaisaran lain.
“Huh
...? Kalau tidak salah, bukannya dia putri kedua kerajaan Armenia? Namanya
siapa ya? Fi ... Fia ... Fiola Resterus, 'kan? Hem, ... kenapa gadis ini malah
berada di sini? Bukannya si penggila keadilan itu sudah membantai seluruh
anggota keluarga kerajaan? Hem, ... apa dia membiarkan kamu lolos? Ah, siapa
peduli ...,” ucap pria tua dengan sedikit tatapan merendahkan.
Ia
melihat ke kanan dan ke kiri dengan angkuh sambil memegang jenggotnya. Setelah
berpikir dan mempertimbangkan hal-hal berbau uang dan keuntungan, pria itu
memutuskan nasib Fiola.
“Hem
... aku rasa, dari pada diberikan kepada gadis penggila keadilan itu, memang
lebih baik aku jual ke pasar budak saja. Untuk seukuran gadis bangsawan,
mungkin kita akan dapat seribu atau dua ribu keping platinium ....”
Pria
tua berjenggot itu berjongkok di depan Putri Fiola yang terbaring di lantai. Perlahan
tangan pria tua itu meraba-raba wajah dan tubuh Putri Fiola. Gadis itu hanya
bisa pasrah dan mengalirkan air mata. Wajahnya dijilat, dadanya diraba dan
bagian pahanya dipegang-pegang.
“Hah,
masih anak-anak, ya. Untuk gadis bangsawan dadamu terlalu kecil dan pahamu
terlalu keras ... tapi, orang bejat yang punya selera seperti itu juga banyak
juga, haha! Aku rasa hargamu di pasaran mungkin bisa sampai seribu lima ratus
koin platinium? Yah, terserahlah! Yang penting dapat bonus untuk misi kali ini,
lumayan ...,” ucap pria tua.
Syuu!
Tiba-tiba
hawa dingin terasa oleh semua orang yang berada di persimpangan lorong istana
itu. Angin bertiup aneh dan sumbernya datang dari seseorang yang berdiri di
belakang pria tua.
“Hee
... semurah itukah harga Putri penuh dosa itu?” Suara serak dan mengerikan
bergema di dalam lorong.
Pria
tua itu menengok ke belakang, tetapi tanpa bisa melihat sosok yang berdiri di
belakangnya, kepala pria tua langsung dipenggal oleh sosok dalam siluet tersebut.
Cret!
Cruat!
Darah
muncrat keluar dari tubuh tanpa kepala pria tua, dan sedikit membasahi wajah
Putri Fiola yang terbaring di depannya dan zirah dua prajurit bayaran.
“Kyaa!!”
jerit Putri Fiola.
Kedua
pria yang memegangi Putri Fiola langsung melepaskannya dan meloncat ke
belakang. Mereka berdua langsung menarik pedang dari sarungnya dan muai waspada.
Tetapi sebelum mereka melawan balik, sebuah palu sebesar tong besar datang dari
atas dan memukul tubuh salah satu prajurit.
Bruak!!
Tubuh
prajurit itu remuk seketika, menjadi gumpalan daging yang hancur bersama lantai
keramik. Melihat rekannya mati, prajurit satunya terlihat sangat marah dan
menyerang sosok dalam kegelapan tersebut.
“Sialan!!
Mati kau!!”
Prajurit
itu melesat ke arah sosok yang berada di balik kegelapan. Tatapi, saat sekilas
cahaya dari api yang menjilat-jilat di luar istana masuk melalui jendela dan
menyinari sosok dalam bayangan, Prajurit terhenti, Ia tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
“Kau
... kenapa?”
Sesaat
prajurit itu terlihat sangat terkejut dan terhenti melihat orang itu, tetapi
mengingat apa yang telah orang itu lakukan pada ketua dan rekannya, prajurit
tersebut meneruskan serangannya.
“Sialan
kau!!”
Sebelum
mata pedang mengenai sosok yang masuk kembali dalam sisi gelap ruangan itu,
beberapa lingkaran sihir di lantai dan dinding muncul, kemudian mengeluarkan
belasan rantai dengan ujung pasak runcing yang melesat dan menusuk prajurit
tersebut. Rantai yang masuk dan menebus melalui dagingnya langsung melilit tubuhnya
seakan rantai tersebut hidup.
Sreing!
Crekt!
Ikatan
rantai-rantai itu memulai mengencang dan meremas tubuhnya. Satu persatu
tulangnya patah, dagingnya terkoyak, dan kedua tangannya belok ke arah yang
salah.
“Si-Sialan
kau!!”
Cratks!
Tulang-tulang
prajurit tersebut remuk dan tengkorak kepalanya pecah. Saat rantai itu kembali
masuk ke dalam lingkaran sihir dan menghilang, prajurit itu jatuh ke lantai
dengan kondisi tak bernyawa.
Putri
Fiola yang terbaring di atas lantai melihat ke arah orang yang telah membunuh
ketiga prajurit bayaran tadi. Sosok yang tadinya tertutup siluet hitam perlahan
mulai terlihat, dia adalah seorang gadis berambut perak pajang sepinggang yang
terlihat anggun, mengenakan gaun berwarna perak berlapis zirah yang membuat
sosok itu bertambah menawan tetapi terlihat kejam dengan sorot matanya yang
gelap dan terasa hampa. Gadis itu adalah komandan kekaisaran Vandal, Alice
Schneewittchen.
Perlahan
Alice melihat ke arah Putri Fiola dengan mata merah menyala di dalam kegelapan.
Tatapan itu membuat Fiola gemetar dan merangkak mundur. Dirinya masih ingat
dengan jelas apa yang telah dilakukan gadis bermata merah itu saat di ruang
tahta. Ia adalah orang membunuh seluruh anggota keluarganya tepat di depan
matanya.
Putri
Fiola langsung berdiri dan hendak kabur dari tempat itu. Tentu saja gadis
komandan itu tidak membiarkannya pergi. Ia membuat lingkaran sihir di telapak
tangan kanannya dan mengambil sebuah pedang satu tangan dengan ujung bercabang
dua yang tumpul. Ia bergerak dengan cepat dan menghadang Putri Fiola. Tanpa
berkata apa-apa, gadis komandan langsung mencekik Putri Fiola dan
membenturkannya ke dinding menggunakan pedang dengan ujung bercabang.
“Jangan
pikir kamu bisa lari, Putri penuh dosa,” ucapnya seraya menatap Putri Fiola
dengan tatapan kosong. Fiola langsung merinding, badanya bergetar tidak karuan
dan napasnya terasa berat.
“Kenapa
...? Kenapa kalian membunuh semuanya? Apa salah kami?”
Di
tengah keputusasaan dan rasa ketidakberdayaan, air matanya mulai berlinang.
Alice terkejut, meski begitu rasa belas kasihan tetap tidak tercermin dari
sorot matanya.
“Salah?
Apa kamu bergurau? Karena ketidakbecusan kalian para keluarga kerajaan Armenia,
para bangsawan dan tuan tanah negeri ini mulai bertingkah sesuka hati mereka,
lalu tanpa tahu diri ... mereka menancapkan taring mereka pada kekaisaran. Ini
adalah hukuman dari kekaisaran suci!”
Gadis
komandan memasukan pedang dengan ujung bercabang ke dalam lingkaran sihir dan
mencekik leher Putri Fiola dengan tangan kanan, lalu membenturkan tubuhnya ke
tembok kembali sampai kepalanya berdarah.
“Tapi
tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kau akan menjadi pameran di
balai kota untuk dijadikan contoh bagi mereka yang menentang kekaisaran. Ya
..., kurasa ini akan sangat cocok untuk orang penuh dosa seperti dirimu ini
.....”
Gadis
komandan tersenyum gelap dan ekspresi wajahnya terlihat sangat mengerikan. Sambil
menangis tersedu, Putri Fiola dalam benak memohon.
“Siapa
saja ... tolong aku ....”
««»»
Pada
salah satu hutan di daerah kerajaan Armenia, seorang pemuda berambut pirang
terbaring pada rerumputan di bawah pohon cemara besar berdaun rimbun. Pemuda
itu tidak lain adalah Robert, seseorang jiwa yang telah direinkarnasikan ke
dunia lain oleh Dewi penguasa kematian dan kehidupan, Violence.
Pria
itu mengenakan kemeja putih polos yang terlihat sedikit kedodoran, dan bawahan
celana hitam dengan ukuran pas. Robert sendiri tidak tahu dari mana dan kapan Ia
memakai pakaian itu, tetapi karena menurut Violance reinkarnasi ini bukanlah bentuk terlahir
kembali tetapi memulai ulang kehidupan di tempat lain, Robert memilih untuk
tidak memikirkannya lagi. Saat berumur 20 tahunan memang dirinya sering
mengenakan pakaian seperti itu, jadi dirinya tidak merasa aneh akan hal
tersebut.
Suara
dedaunan yang saling bergesekan tertiup angin, burung-burung berkicauan, dan
udara yang sejuk membawa ketenangan baginya. Melalui sela dedaunan pepohonan,
untuk sesaat pria itu merasa lega saat melihat langit tinggi dan cerah yang
dihiasi awan putih. Ia berdiri, lalu dengan wajah suram dan terlihat malas sekali
lagi menatap ke arah langit dengan rasa lega memenuhi dada. Entah mengapa dirinya
terlihat rindu dengan pemandangan langit cerah tersebut.
“Nostalgia
sekali .... Karena di tempat itu tidak ada langit, rasanya saat melihat ini
sangat menenangkan hati. Sudah sangat lama aku tidak melihat langit yang seperti
ini. Yah, di tempat penuh genangan air itu juga ada langit, tapi tidak seindah
ini.”
Robert
tersenyum bahagia. Ia merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena
telah diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali. Walaupun rasa sesal di
kehidupan sebelumnya tidaklah hilang sepenuhnya, tetapi paling tidak sekarang
Ia bisa memulai awal barunya.
“Selain
Berkah utama yang diberikan oleh Dewi itu padaku, kalau tidak salah aku juga
menerima Berkah pemahaman bahasa dunia ini dan kemampuan belajar cepat ya? Tapi
..., jujur saja aku tidak tahu bagaimana kegunaan semua berkah itu. Terlebih
lagi, Berkah? Apa itu semacam keajaiban?”
Robert
kembali duduk di atas rerumputan dan bersandar pada pohon. Ia menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya, tersenyum lega dan berpikir dengan sangat
jernih. Semua emosi negatif pada dirinya benar-benar hampir tak ada, yang
tersisa dalam diri pria itu hanya ketenangan saat ini.
“Semua
Berkah itu, terutama tentang dua Berkah Utama yang rasanya mencurigakan seperti
Karisma Penguasa Mutlak dan Perlindungan Dewi Violence .... Sebenarnya apa
gunanya?”
Robert
menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan lepas. Ia kembali
berdiri dan meregangkan tubuh, meloncat-loncat dan melakukan pemanasan.
“Hem,
baiklah ... dari pada berdiam diri di tempat ini, sebaiknya cepat-cepat pergi
ke kota atau desa terdekat untuk mencari informasi. Dewi itu, dia benar-benar
gak kasih informasi. Hem, tapi dilihat dari pakaian Dewi itu, kayaknya berasal
dari abad pertengahan. Pastinya dunia ini juga peradabannya masih seperti itu,
‘kan?”
Robert
melihat sekitar, tetapi tempat itu hanya dipenuhi oleh pepohonan dan tidak
terlihat seorang pun di sekitar sana, bahkan mungkin tempat tersebut terlalu
sunyi untuk disebut hutan. Di sekitarnya sama sekali tidak ada tanda-tanda
hewan yang berkeliaran ataupun orang.
Seketika
Robert memasang wajah datar karena bingung dengan arah yang Ia akan tuju.
Sambil sekilas mengingat kembali perkataan Dewi Violence tentang [Utusan],
Robert terdiam sesaat.
“Utusan,
kata dewi itu aku tidak harus terlalu memikirkan hal itu. Asalkan aku terus
hidup dengan tetap menjadi diriku sendiri itu sudah cukup, kalau tidak salah
dia berkata seperti itu ... tapi apa maksudnya?”
Berusaha
untuk mengalihkan pikiran dari kebingungan, Robert melihat ke arah matahari
untuk memperkirakan arah dan letaknya sekarang, tetapi Ia langsung teringat
kalau dirinya sedang berada di dunia yang berbada. Ia melihat letak matahari
dan posisi bayangannya.
“Cara
seperti ini juga bisa berguna di dunia lain? Dan juga bukannya cara ini berbeda
Negara saja sudah sulit ..., apa lagi kalau beda dunia ... Ah, biarlah! Mending
cepet gerak.”
Pada
akhirnya, Robert memilih arah yang dianggapnya sebagai arah utara melalui
penentuan letak dan pergerakan matahari. Pada saat berjalan menyusuri hutan,
dirinya masih terus terpikir dengan perkataan-perkataan dari sosok yang
memberikan kesempatan kedua kepadanya. Rasa tidak percaya dan meragukan orang
lain sudah menjadi sifatnya, oleh karena itu dirinya tidak pernah menerima
kebaikan orang lain secara cuma-cuma.
“Sebenarnya
apa tujuannya memberikan kehidupan kedua ini padaku? Terlebih lagi, apa dia
benar-benar seorang Dewi? Bukan Iblis yang menyamar, 'kan? Yah, apa pun itu
yang pasti ada tujuan tertentu dari reinkarnasi ini. Tidak, daripada
Reinkarnasi ... kurasa ini lebih mirip dengan Penghidupan Kembali, sebuah
Reanimation? Tapi, aku tetap jadi lebih muda dari sebelumnya ....”
Robert
terus berjalan menyusuri hutan penuh semak-semak selama beberapa jam. Dengan
tanpa lelah, kakinya melangkah, tanpa rasa letih, dirinya terus berjalan. Ia
melewati daerah bebatuan, sungai, dan bahkan sebuah danau kecil dengan
pepohonan dengan buah-buahan yang tumbuh subur.
Setelah
terus melangkahkan kaki, dari kejauhan Robert melihat sebuah dinding raksasa
yang terbentang lebar dan menghalangi cakrawala. Dinding itu berwarna putih
kusam terkena matahari dan memiliki beberapa menara dan meriam di bagian
atasnya.
“Tingginya.
Habis berapa buat bangun kayak gini ....”
Robert
terkagum melihat dinding raksasa yang tingginya sekitar 12 meter tersebut.
Dinding itu terlihat kokoh dan rapi, serta sedikit memancarkan energi panas
aneh yang berasal dari sisi lain dinding. Pada permukaannya, terdapat motif
arsitektur aneh dan tulisan-tulisan yang diukir dari dasar sampai puncaknya.
Sekilas dirinya mengamatinya, tetapi ternyata itu bukan huruf melainkan
sekumpulan simbol aneh seperti heksagram bertanduk dan berbagai bentuk persegi
yang memiliki ciri hewan seperti taring, cakar, atau sejenisnya.
“Ini
bukan pembatas dunia kehidupan dan akhirat seperti film fantasi yang pernah
tonton, ‘kan? Semoga saja ada pintu masuknya. Masa harus tidur di luar di hari
pertama di kehidupan baru ....”
Tanpa
berpikir dua kali, Robert berjalan memutar untuk mencari jalan masuk ke dalam
tembok. Tetapi saat ia sampai di gerbang masuk yang berupa pos penjagaan dengan
beberapa prajurit, Ia langsung dihentikan oleh beberapa orang prajurit yang
menjaga gerbang masuk. Para prajurit itu terlihat sangat was-was akan kehadiran
Robert, dan mereka menodongkan tombak besi ke arahnya dengan rasa takut.
“Eh?
Apa ini? Salah apa?” pikir Robert.
Ia
mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Walaupun begitu, para
prajurit sama sekali tidak menurunkan tombak dan pedang mereka. Jumlah mereka
lebih dari belasan, mengenakan zirah besi yang dicat merah, dan menggunakan
senjata tajam bervariasi yang didominasi tombak.
“Siapa
kau?! Untuk apa datang ke tempat ini?! Apa kamu sisa-sisa Kerajaan Armenia yang
ingin merebut kembali kota Erteri ini?!” teriak salah satu prajurit.
Mendapat
berbagai pertanyaan seperti itu, Robert hanya bisa terdiam sambil memasang
wajah bingung. Walaupun Robert bisa memahami bahasanya berkat Berkah yang ada,
tetapi Ia benar-benar tidak tahu dan tidak paham dengan apa yang dimaksudnya.
“Jawab!!”
bentak salah satu prajurit.
Robert
mengambil satu langkah ke depan, kemudian menjawab pertanyaan prajurit itu
dengan nada sedikit cemas, “Bukan ..., aku bukan orang dari Kerajaan Armenia
... aku datang ke tempat ini karena tersesat ....” Matanya lekas mengamati
sekitar dan menganalisis. Sambil memejamkan sesaat, pria tersebut menyimpulkan
kalau dirinya tidak bisa keluar dari tempat itu dengan damai setelah melihat
puing-puing bangunan yang ada di sekitar tempat itu.
“Jangan
berbohong!! Setelah peperangan besar tadi malam mana mungkin ada orang yang
tersesat ke kota besar ini! Jawab! Sebenarnya siapa kamu!!?” tanya salah satu
prajurit dengan nada tinggi.
“Peperangan
besar ya. Entah itu di dunia itu atau ini, peperangan mungkin sudah menjadi
budaya manusia. Tidak, sejarah umat manusia lebih tepatnya ya. Tapi .., benar
juga, sebenarnya apa yang telah terjadi di tempat ini, dan juga kenapa aku
dipindahkan ke dekat tempat berbahaya seperti ini? Apanya yang tinggal hidup
saja ....”
Robert
memasang wajah datar. Untuk orang seperti dirinya, berada di antara orang
dengan senjata yang digunakan untuk membunuh bukanlah hal yang asing. Untuk
orang yang lahir di tempat penuh konflik regional seperti dirinya, darah, abu,
api, dan mayat tidaklah membuatnya gentar atau kehilangan pemikiran rasional.
“Jawab!
Monster! Kenapa orang dengan aura mengerikan sepertimu datang ke tempat ini?”
Robert
kebingungan mendengar perkataannya. Ia mengangkat wajah dan melihat ke arah
orang berzirah yang berteriak ke arahnya. Dari sela helm besi, matanya bertatapan
dengan Robert dan membuat orang tersebut melangkah ke belakang dengan takut.
“Aura
mengerikan? Apa wajah murungku terlihat seburuk itu? Kalau memang seperti itu,
apa lebih baik aku memasang senyum bisnis seperti biasanya saja ya?”
Sambil
melihat ke arah para prajurit yang menodongkan tombak, Robert membuat senyum munafik
yang selalu Ia pasang saat bernegosiasi. Senyuman itu begitu alami, bahkan
terlalu alami sampai terlihat menakutkan. Pada saat yang sama, pria itu secara
tidak sadar mengeluarkan aura hitam yang amat mengerikan. Bentuknya seperti
kabut meruncing, menyelimuti tubuh, dan terlihat seperti seekor monster yang
berdiri di belakangnya.
“Ah!!”
Semua prajurit gemetar ketakutan dan langsung mengangkat senjata mereka. Tanpa
membiarkan Robert berkata lagi, kapten mereka mengangkat pedang tinggi-tinggi
dan memberi aba-aba.
“Semuanya,
serang!!”
“Eh?!
Tunggu!”
Serentak
para prajurit menusukkan tombak ke tubuh Robert. Pria itu tidak sempat
menghindar dan terkena seluruh tusukan dan tebasan dari penjuru arah dengan
telak. Darah tidak mengalir membasahi mata tombak atau pedang, pria itu masih
berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan melindungi wajah.
Kratak!!
Ujung
besi tombak-tombak yang digunakan untuk menyerangnya patah. Melihat itu, para
prajurit merasa ketakutan dan melangkah mundur. Baik Robert ataupun para
prajurit, mereka semua terlihat kebingungan.
“Begitu
ya, jadi ini Berkah Tubuh Terbaik. Yah, walaupun masih tetap terasa sakit. Heh,
Bukan berarti aku kebal terhadap rasa sakit⸻ eh?”
Rasa sakit yang tadi jelas terasa lenyap
seketika. Hal tersebut merupakan salah satu efek Berkah Tubuh Terbaik dimana
bisa menghilangkan segala kelainan pada tubuh, dan rasa sakit dianggap sebagai
kelainan dan penyimpangan. Alasan Robert merasakan rasa sakit di awal adalah
jeda yang ada saat proses penghilangan kelainan yang ada.
“Ba-Bagaimana mungkin! Itu tombak Suci yang
ditempa oleh salah satu Komandan Agung, ke-kenapa bisa patah semudah itu!?”
ucap salah satu prajurit.
Robert tidak mendengarkan perkataannya, Ia
lebih memilih untuk mengamati tubuhnya yang tertusuk tombak. Selain pakaian
yang berlubang, hanya muncul luka memar ringan dari serangan tadi. Tetapi, itu
pun dalam hitungan detik luka tersebut mulai sembuh dan hilang tanpa bekas.
“Hem?
Apa tadi Regenerasi?Bukannya hanya tubuh anti sakit-sakitan dan selalu dalam
kondisi prima plus kekuatan fisik abnormal doang? Barusan itu ....?”
Pria itu sejenak memasang ekspresi datar dan
berpikir. Setelah menemukan kesimpulan, pria itu tanpa sadar memasang senyum
gelap mengerikan yang membuat para prajurit gemetar ketakutan.
“Ah
...? Benar juga, jangan-jangan karena itu ...?”
Robert
teringat perkataannya sendiri saat ditawari memilih oleh Dewi penguasa Konsep
Kematian dan Kehidupan untuk Berkah yang ingin didapat. Di antara berkah yang didapat, ada dua
berkah yang terdengar mencurigakan. Mungkin berkah itu yang bisa memberikannya kemampuan
pemulihan diri, itulah yang Robert pikirkan. Tetapi kenyataannya bukan
itu, berkah yang melindungi Robert secara penuh dari serangan tombak tadi
adalah Berkah Tubuh Terbaik adalah Berkah Perlindungan Dewi Violence saja.
“Hem,
tubuh anti sakit-sakitan dan regenerasi? Gawat, bukannya itu mirip kayak abadi?”
“Apa
yang kamu bicarakan sendiri!? Dasar monster!” bentak salah satu prajurit.
Robert melirik dengan tajam, kemudian menghela napas dengan pasrah akan
kondisinya saat ini. Ia melangkah maju kemudian angkat tangan sebagai tanda
menyerah.
“Ti
⸻”
“Bawa
rantai!!” perintah salah satu prajurit tanpa memedulikan Robert.
“Paling
tidak dengerin kalau ada orang yang mau bicara,”pikir Robert.
Sebenarnya
Ia juga ingin membentak mereka seperti dirinya membentak para bawahan yang
terus mengobrol saat rapat, tetapi karena itu bisa memperburuk keadaan, pria
itu lebih memilih menutup mulut rapat-rapat dan tetap diam.
Ia mengamati puing-puing bekas pertempuran.
Dari komposisi bangunan yang terbuat dari batu
bata merah dan didominasi dari kayu, serta jalanan yang masih terbuat
dari bebatuan yang disusun dan direkatkan, Robert menyimpulkan kalau peradaban
dunia ini masih benar-benar tingkat abad pertengahan.
Kurang
dari tiga menit, beberapa prajurit membawa rantai untuk mengikatnya. Rantai itu
sangat besar seperti rantai sambungan truk gandeng, dan panjangnya sekitar
lebih dari delapan meter.
“Kalau
tidak ingin mati, jangan melawan!! Aku akan menyerahkanmu kepada komandan!” ucap
salah satu prajurit.
Salah
satu prajurit melemparkan rantai pada tubuh Robert dan ujung lainnya ditangkap
oleh prajurit lain. Mereka berjalan memutar untuk mengikat tubuhnya. Setelah
berputar lima kali dan mengikat Robert, ekspresi wajah mereka terlihat lega. Di
mata Robert, orang-orang tersebut hanyalah sekumpulan orang dungu dan tidak
berakal, meskipun berbalut zirah kuat dan mungkin terlihat seperti kesatria.
“Permisi,
... kalian sudah mengikatku seperti, 'kan? Jadi tidak masalah kalau kalian
mendengarkan perkataanku seka ⸻”
“Hah!?
Mana mungkin aku mendengarkan perkataan seorang monster!”
“Hahaha!
Bodoh sekali! Aku baru lihat ada monster yang sukarela diikat! Blo’on! Tolol banget!”
“Bego!
Sangat teramat bego!”
Mereka
tertawa, mencemooh dalam rasa kegilaan dan kesenangan merendahkan orang lain.
Robert sangat tahu apa yang disebut prajurit dengan moral rendah pasti seperti
itu. Memang dalam pelatihan kebanyakan orang akan sangat disiplin dan mematuhi
peraturan yang berada, tetapi setelah mereka ikut perang dan sadar kalau
militer bukanlah semulia apa yang mereka anggap, sifat mereka bisa berubah
lebih rendah dari penjahat dan bahkan binatang.
“Akh,
sudah kuduga. Memang selalu seperti ini ya. Ya, aku tidak menyalahkan mereka
sih, mungkin saja lingkungan yang salah ..., seperti halnya aku dulu.”
Robert memasang wajah
datar, melihat mereka yang tertawa menggila. Aura hitam di sekitarnya kembali
meluap keluar seperti kabut gelap, dan seketika menghentikan tawa mereka.
Ekspresi
wajah Robert penuh ketenangan dan sama sekali tidak ada rasa takut, itu
ekspresi yang hanya dimiliki orang yang mempunyai kekuatan besar saja. Para
prajurit tak bermoral itu tahu akan hal tersebut, raut wajah yang ada pada pria
itu adalah wajah seorang yang yakin bisa menang.
Crang!
Dengan
mudahnya Robert memutuskan rantai yang mengikat tubuhnya seperti halnya
memutuskan sebuah benang. Semua prajurit di tempat itu panik dan melangkah
mundur. Karena penasaran akan perkataan mereka yang terus memanggilnya monster,
Robert mengambil patahan besi tajam dari ujung tombak yang tadi hancur.
Saat
melihat cerminan dirinya pada patahan besi tajam, Robert terkejut melihat
sosoknya sendiri. Di sana memang terpantul sosoknya dengan penampilan remaja,
dengan aura hitam pekat menyelimuti tubuhnya dan menggelora bagaikan api
membara. Bercampur dengan aura hitam yang tercermin, Robert sekilas merasakan
tatapan asing yang seakan mengawasinya.
“Apa
tadi ....?” pikir Robert. Saat ia hendak mengamati lagi, sebuah tombak
melesat ke arahnya. Refleksnya dengan cepat bereaksi. Dengan punggung tangan
kiri, Robert memukul mata tombak yang melesat ke arahnya dan secara tidak
sengaja terpental ke arah prajurit yang berdiri beberapa langkah di kanannya.
Cratk! Tombak tersebut menembus zirah
sampai punggung.
“Ah ..., maaf,” ucap Robert sambil menjatuhkan
kepingan besi yang digunakan untuk berkaca tadi.
Prajurit
tersebut berlutut dengan darah yang mengucur keluar dari perut yang tertusuk
tombak. Ia berusaha menarik tombak, tetapi karena terjepit zirah yang rusak mata
tombaknya, itu sukar dicabut. Ia kewalahan dan akhirnya terbaring lemas karena
kehilangan banyak darah. Melihat itu, beberapa prajurit lekas berlari menolong
dan beberapa lagi langsung menatap Robert dan bersiap menyerangnya.
Saat
masih bingung dengan kejadian tadi, para prajurit yang mengepung Robert dan
mulai menyerang secara serentak. Refleks Robert bereaksi secara ekstrem dan
menghindari setiap tombak yang ditusukkan ke arahnya. Ia melangkah mundur untuk
menghindari tusukan pertama dari depan, kemudian menunduk untuk menghindari dua
tusukan dari belakang. Saat mereka menjaga jarak dan digantikan oleh prajurit
lain yang menyerang dari empat arah, secara refleks Robert melompat untuk
menghindari tusukan tombak-tombak tersebut meskipun Ia tahu kalau dirinya tidak
akan luka. Saat itu kejadian aneh terjadi, awalnya ia berencana meloncat ringan
untuk menghindari tusukan tombak dan mematahkannya dengan menginjaknya, tetapi
tanpa sadar Robert meloncat setinggi 12 meter.
Dass!
“A!!”
Robert menganga saat melayang di udara. “Aaaaa!!” Dengan cepat Ia jatuh dan membentur
tanah dengan keras.
Bekh!!
Dengan
wajah panik Robert langsung berdiri, dan memastikan tidak ada yang aneh pada
tubuhnya. Tetapi, saat melihat tangan kanan, seketika raut wajah berubah panik
karena tangannya itu patah. Ia berlutut menahan rasa sakit dan mulai bersujud
seraya mengangkat tangannya yang patah ke atas. Ia menggigit bibir sampai berdarah
dan berguling. Melihat itu, para prajurit menjauh dan menghentikan serangan.
Tetapi,
beberapa detik kemudian tangannya yang patah mengeluarkan suara aneh seperti
tulang yang dipaksa kembali ke posisi semula. Saat Robert berdiri dan kembali
melihat tangannya yang patah, itu kembali seperti semula dan rasa sakit yang
tadi dirasakan benar-benar menghilang.
“Ha
... haha, uwahah!! Ternyata begitu ya .... Sialan sakit banget tadi! Berkah ini
....”
Menyadari
sesuatu, Robert tersenyum gelap. Ia merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan
melihat ke langit. “Ah, begitu ya!!” teriaknya dengan suara lantang. Ia tidak
bermaksud apa-apa selain membuat gertakan untuk menakuti para prajurit. Pada
dasarnya, Robert tidak menyerang mereka bukan karena dirinya tidak bisa menang,
tetapi karena di kehidupan keduanya ini Ia tidak ingin berbuat kesalahan.
Mungkin mereka biadab, tetapi para prajurit itu adalah orang-orang yang
berjuang demi tanah air mereka. Mempertimbangkan hal tersebut, Robert memilih
untuk tidak melakukan tindak kekerasan.
“Yah, dengan kekuatan fisik ini ..., tidak
diragukan lagi kalau sekali hajar mereka bisa mati. Lebih baik cari cara damai,”
pikir Robert.
Setelah
berpikir beberapa hal, ada satu cara untuk mengakhiri situasinya sekarang tanpa
membunuh siapa pun. Hal tersebut sangat sederhana dan hanya bisa dilakukannya
yang telah mendapat kekuatan fisik diluar nalar.
Ia
berancang-ancang dengan tinjunya, menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan
tenaga. Tanpa disadari, aura hitam mulai keluar kembali dan menyelimuti kepalan
tangannya. Rambutnya yang dulunya berwarna pirang gelap mulai sedikit
menghitam. Tanpa menahan sama sekali, Robert langsung memukul permukaan tangan
dengan sekuat tenaga.
Buak!
Krakrkak!!
Permukaan
tanah mulai retak dan hancur, kemudian runtuh sampai saluran irigasi yang ada
di bawah tanah. Para prajurit bergelimpangan dan terjun bebas ke bawah bersama
puing-puing. Menggunakan bebatuan jalan yang ikut runtuh sebagai pijakan,
Robert meloncat dengan tanpa bisa mengatur tenaga.
Brudak! Bruak! Bruakrak!! Tang!!
Tubuhnya
menabrak atap gorong-gorong irigasi bawah tanah yang tidak runtuh sampai jebol
ke atas, kemudian terus lurus melesat tak terhenti dan menjebol beberapa
bangunan sebelum menabrak lonceng besar pada menara di tengah kota dan berhenti.
Tubuhnya
menempel pada lonceng yang dengan posisi terbalik, lonceng tersebut berdentang
ke penjuru kota dan membuat setiap prajurit Kekaisaran Vandal terkejut. Robert
jatuh dari lonceng dan melesat turun sampai lantai dasar. Saat akan menyentuh tanah,
aura hitam keluar dari tubuhnya dan melindunginya dari benturan. Ia mendarat
dengan aman dan terlihat kebingungan.
Ia
memeriksa tubuhnya dan terkejut karena tidak ada satu pun luka seperti
sebelumnya. Robert tidak terlalu tahu alasannya dan dirinya sadar kalau
sekarang bukan saatnya memikirkan hal semacam itu. Sambil berjalan ke luar dari
menara lonceng, Ia juga menyadari kalau sesuatu yang bernama Berkah itu bisa
berkembang seiring berjalannya waktu.
“Sepertinya
aku harus berlatih untuk mengembalikan berkah ini .... Tadi itu, memang sangat
berlebihan ya ....”
Pada
tempatnya berdiri, melalui bangunan-bangunan yang mulai roboh karena
ditabraknya, Robert melihat gerbang kota dari dinding raksasa tempatnya berada
tadi runtuh dan membuat suara sangat keras. Dari hal tersebut, kesimpulannya
sedikit berubah. Berkah bukanlah berkembang, tetapi hanya bagaimana caranya
menggunakan itu bisa bertambah kuat dan efektif. Dengan kata lain, alasan
Robert tangannya patah setelah meloncat tetapi malah tidak terluka sama sekali
setelah menubruk beberapa tembok bangunan adalah karena dirinya belum
beradaptasi dengan Berkah dan belum menguasainya.
Dialihkan
pikirannya oleh suara para prajurit yang mulai ribut di sekitar tempatnya berdiri,
Robert memasang ekspresi datar seraya menghela napas penuh rasa sesal.
“Hem ... kalau begitu, ... kabur ah,” ucap
Robert dengan wajah datar.
Informasi:
[Sistem uang] {Awal}
[Sistem uang] {Awal}
10 koin perunggu = 1 koin perak.
10 koin perak= 1 koin emas.
10 koin emas = 1 koin platinium.
10 koin perak= 1 koin emas.
10 koin emas = 1 koin platinium.
No comments:
Post a Comment