Keserakahan
⸻ tak puas akan apa yang telah didapat, mungkin sifat itu telah menjadi salah
satu komponen dasar dari manusia. Entah seberapa banyak yang didapat, manusia
tidak akan pernah merasa terpuaskan dan selalu ingin lebih dan lebih. Mereka selalu
menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain, merasa iri, serta dengki pada orang
yang memiliki apa yang tidak dapat dimilikinya. Dengan mengatasnamakan rasa
puas sebagai penghambat dan mengagungkan hasrat menguasai serta memiliki
sebagai dasar kemajuan.
Berpikir
logis dan realistis, bertindak efektif dan efisien. Saat kebanyakan orang
melakukan itu, sebuah hasil maksimal memang dapat didapat sesuai kehendak.
Tetapi, dalam hal itu pasti ada sebuah komponen yang hilang dalam prosesnya.
Sebuah komponen sedehaman yang menjadi tombol berhenti saat berada di depan
jurang yang bernama batasan.
Dulu,
dulu sekali ... ada seseorang pernah berkata padaku, “Menurutmu kenapa saat
seorang bayi yang baru lahir ke dunia mereka mengepalkan kedua tangannya? Asal
kau tahu, sebenarnya itu tanda bahwa mereka lahir ke dunia dengan ambisi untuk
mengambil banyak hal setelah lahir, itu tanda keserakahan manusia yang ada
sejak pertama kali datang ke dunia.”
Tentu
aku tidak setuju dengan hal itu. Bagaimana mungkin seorang bayi sudah memiliki
sifat buruk seperti itu, bagiku ucapannya itu hanya omong kosong belaka, hanya
sebuah bualan yang melayang tertiup angin. Tidak berguna.
Tetapi
sebelum aku membantah hal tersebut, orang itu kembali berkata padaku, “Berbeda
ketika mereka meninggal, kebanyakan orang akan membuka kedua telapak tangan
mereka yang kosong, tanda mereka tidak bisa membawa apa pun dari dunia setelah
waktu mereka habis ... keserakahan mereka hanya membawa sebuah penyesalan yang teramat
dalam.”
Perkataan
kali ini membuatku tertegun, itu benar apa adanya. Semua yang aku miliki, semua
yang aku kumpulan, semua yang aku perjuangkan, segalanya tidak akan membantu
apa-apa saat hari yang dijanjikan kepada semua makhluk hidup itu datang.
Sebenarnya
bukan berarti aku takut akan kematian, yang kutakuti adalah kehidupan yang
membuat sebuah kematian itu terasa menyakitkan. Sebuah kematian penuh
penyesalan yang kutakuti.
Jika
diumpamakan keserakahan adalah sebuah penyakit selama masih ada nyawa di tubuh
ini dan membuat sifat-sifat buruk itu ada, mungkin setelah kematian datang
penyakit itu akan hilang seperti debu yang tertiup angin. Perumpamaan itu tidak
penting, itu hanya omong kosong saja. Pada kenyataannya, tidak sesederhana itu.
Entah
bagaimanapun cara setiap orang melihatnya, hidup adalah sekumpulan pilihan
sebelum kita mati, sebuah “Paralel Question” yang tidak ada habisnya sebelum
tubuh menyatu dengan tanah. Masalahnya bukan bagaimana cara memulainya, tetapi
bagaimana caranya mengakhiri. Awal telah ditentukan saat kita datang, kita
hanya diberi pilihan bagaimana caranya pergi dan seperti apa bentuknya nanti.
Bagaimana
cara mengakhir perjalanan hidup yang amat panjang ini, itulah yang lebih
penting daripada memikirkan bagaimana diriku memulai awal yang baru. Ya,
mungkin semua orang berbeda pendapat, tetapi paling tidak itulah yang paling
penting bagiku.
Aku
sangat ingin sebuah akhir yang benar. Sungguh, sekarang aku tidak ingin hal
lainnya lagi. Sudah cukup, semuanya sudah cukup, entah itu harta, kebahagiaan,
kesedihan, kesengsaraan, dan segala sesuatu yang memberi arti dalam kehidupan.
Aku tidak butuh semua itu lagi. Yang aku harapkan sekarang hanya sebuah
ketenangan untuk mengistirahatkan jiwa ini. Sudah terlalu banyak yang diriku
rebut di dunia ini dari orang lain. Sudah cukup ternoda hidupku ini dan sudah
cukup kebahagiaan yang diriku dapatkan dari mereka.
««»»
Pada
sisa hidupnya yang kecil dari sekian luas dunia, dalam diri pria bernama Robert
itu sekarang hanya tinggal sebuah penyesalan semata. Pria paruh baya yang
dulunya seorang pengusaha berbakat dengan berbagai ide cemerlang tersebut, di
penghujung umurnya sekarang hanya bisa berbaring menunggu ajalnya.
Harta,
koneksi, kepercayaan dari rekan-rekan kerja, dan nama baiknya tidak berguna
lagi semenjak ia terkena penyakit yang menghancurkan kehidupannya itu. Ia
begitu menyedihkan, pipinya kempot dan di sekitar matanya bengkak tanda
ginjalnya tidak berfungsi dengan baik. Tidak ada hal berguna yang bisa
dilakukan pria itu, mungkin yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berbaring
tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit lokal, dengan infus dan alat
penunjang kehidupan yang terpasang pada tubuhnya.
Sosok
yang dulunya berkuasa dengan harta dan jabatannya itu sekarang tidak berdaya di
atas ranjangnya. Tanpa ada keluarga yang merawat ataupun menemaninya, pria
paruh baya itu terbaring sendirian melawan penyakit Stroke yang menggerogoti tubuhnya.
Sudah
tiga tahun Ia berada dalam kondisi tersebut. Ia kehilangan kemampuan untuk berbicara
dengan baik, kedua kakinya kehilangan kemampuan untuk berdiri dan benar-benar
tidak bisa digerakkan, serta jemari kedua tangannya sudah tidak bisa digunakan
untuk menulis bahkan memegang benda pun tidak bisa. Beberapa Ogan dalamnya
mulai tidak berfungsi dengan baik dan membuat kondisinya semakin memburuk
setiap harinya.
Sekitar
setahun yang lalu, seluruh harta dan simpanan yang dimilikinya sudah habis
untuk mencoba berbagai pengobatan. Tetapi semua itu hasilnya nihil, semua itu
tidak berarti. Harta yang dikumpulkannya hilang tak berarti dalam waktu
singkat, dan menjadi benar-benar tidak ada gunanya. Robert bisa berada di rumah
sakit ini pun berkat mengandalkan asuransi yang Ia punya, sebuah harapan
terakhir untuk menunjang kehidupannya.
Tidak
tahan dengan kehidupannya yang sekarang, istrinya, Meliana, dan anaknya, Fiala,
tanpa berpikir dua kali memutuskan untuk meninggalkan Robert. Istrinya
menggugat cerai dirinya, dan meninggalkan Robert sendirian. Dengan tanpa
perasaan, dengan tanpa kasih, dan dengan penuh kekejaman Robert ditinggalkan
keluarganya. Seperti layaknya dulu Ia memecat bawahannya yang tidak becus tanpa
pikir panjang, Ia dibuang oleh keluarganya layaknya barang rusak.
Kolega
dan Kontraktor Proyek yang selalu mendukungnya sekarang hilang entah ke mana.
Mereka memang pernah menjenguk dirinya, tetapi itu hanya tahun pertama saat
Robert masih terkena Stroke stadium awal, seterusnya mereka menyerah pada
kesembuhan Robert dan meninggalkannya.
Sekarang
Ia benar-benar sendirian di dunia ini, yang menemaninya mungkin hanya suster
yang sering datang ke ruangannya untuk merawat dirinya, Itu pun dengan tatapan
enggan dan merendahkan dirinya.
Saat
Ia terbaring sendirian di kamar tempat dirinya dirawat, Robert selalu
bertanya-tanya untuk apa Ia hidup selama ini. Ia berjuang dari bawah sampai
menjadi seseorang yang sukses, tetapi saat terkena penyakit, semua usahanya
selama ini menjadi sia-sia dan hilang layaknya sebuah gambar yang dibuat di
atas pasir pantai yang dengan mudahnya terhapus oleh ombak.
Yang
ada dalam benaknya bukanlah rasa bangga atau senang atas pencapaian yang pernah
Ia dapat, tetapi hanya sebuah penyesalan yang teramat dalam dan pedih seakan
hatinya dirobek. Ketidakberdayaan yang Robert rasakan sekarang lebih parah dari
yang pernah Ia rasakan saat masih kecil, saat dirinya dungu dan tidak berdaya.
“Andai
saja aku berbuat kebaikan saat masih memiliki segalanya. Andai aku menolong
orang yang membutuhkan ..., Andai aku menjadi orang yang baik.”
Semua
angan-angan seperti itu selalu terlintas dalam benaknya selama setahun terakhir
ini. Itu percuma, Robert tahu akan hal itu. Tetapi dirinya tidak pernah
berhenti berharap, semuanya akan baik-baik saja. Seperti dulu dia membalikkan
keadaan saat perusahaannya mengalami krisis, pasti kali ini juga akan baik-baik
saja, itulah yang Robert harapkan.
Kenyataannya,
dalam lubuk hatinya yang paling dalam dirinya tahu kalau semua itu sekarang
tidak mungkin bisa dilakukan. Semua waktu yang pernah diberikan padanya
digunakan hanya untuk mencari kekayaan semata dan tidak pernah berbuat
kebaikan. Kata amal sangat jauh dari pria tersebut.
Sebelum
terkena Stroke, Ia tidak
pernah memikirkan untuk bersedekah atau beramal, memberi, membantu, ataupun
memedulikan orang-orang yang membutuhkan. Satu-satunya kebaikan yang pernah Ia
lakukan mungkin hanya untuk keluarganya saja.
“Ah
... betapa berdosanya aku ... hidupku ini dipenuhi kesalahan. Jika bisa
memulainya kembali ... aku ingin menjadi orang yang baik .... Menjadi orang
yang mau meraih uluran tangan orang-orang yang membutuhkan ....”
Perlahan
pria paruh baya itu menutup matanya dengan lemas, dipenuhi ambisi yang masih
belum tercapai, dipenuhi rasa penyesalan yang besar Robert menutup matanya.
Piiiit...
Monitor
detak jantung menunjukkan garis lurus. Perlahan dan pasti seluruh fungsi
organnya berhenti beroperasi. Dan pada saat itu, William Robert, sang mantan
pengusaha besar yang pernah berkuasa dengan harta dan jabatannya menghembuskan
napas terakhirnya di dunia ini pada umur 41 tahun dengan berbagai penyesalan
yang masih ada.
««»»
Aroma
tanah yang menyengat, udaranya begitu pengap, dan sunyinya seperti kuburan.
Seluruh badan tak bisa bergerak dan hanya bisa terbaring dengan tubuh mengeras
kaku memucat, di dalam sebuah peti dingin tertimbun tanah. Semua hal dari dunia
sudah tidak ada kaitannya lagi, semua urusan dunia sudah tak akan bisa
dijangkau dari tempat itu apalagi menjangkau tempat itu.
Pernahkah
kalian terpikir bahwa semua apa yang kalian miliki saat ini akan hilang begitu
saja? Akankah datang waktu di mana semuanya yang engkau miliki lenyap seperti
tak ada artinya? Semua itu benar-benar terjadi. Seberapa banyak yang engkau
kumpulan, semuanya akan dipertanggungjawabkan kelak saat waktunya datang.
Pada
akhirnya semua itu hanyalah omong kosong belaka, sebuah kata-kata yang
terangkai rapi dan peristiwa yang memenuhi durasi waktu hidupmu, itulah apa
yang dikumpulkan selama hidupnya. Seiring berjalannya waktu, rekaman itu akan
luput dari dunia dan hilang selamanya.
Harta?
Keluarga? Teman? Ikatan? Kenangan? Pengaruh pada masyarakat? Jabatan? Sebenarnya,
tidak ada di antara itu yang akan ada di akhir hidup, yang ada hanya kesendirian
pada detik-detik terakhir saja.
Dialah
orang yang mendirikan segunung penyesalan. Dialah orang yang mewarnai
kehidupannya sendiri dengan darah demi melindungi apa yang Ia anggap berharga.
Dialah orang yang memberikan banyak cahaya pada dunia tetapi tak pernah
mendapatkan pancaran cahaya pada jiwanya. Ya, layaknya sisi lain dari lampu
senter, tempatnya selalu gelap.
Waktu
baginya adalah uang, orang lain selain keluarga baginya hanyalah sebuah alat,
dan seluruh apa yang ada di dunia dianggapnya hanya sekumpulan komponen untuk
membangun kejayaannya.
Dia
orang tamak sekaligus dermawan, dia seorang penyayang sekaligus orang yang
kejam, dia orang yang jujur sekaligus munafik, dia bijaksana sekaligus orang
dungu. Kebaikannya layaknya seorang ayah, kasih sayang yang diberikan hanya
untuk anak dalam keluarga.
Entah
apa pun yang ada pada dirinya, sekarang di penghujung waktunya hanya ada
kesepian, kesendirian, dan penyesalan yang amat besar. Sebuah tirai dari kisah
penebusan penyesalan dan dosa telah diangkat. Bukan bagaimana caranya untuk
memulai, tetapi bagaimana cara yang tepat untuk mengakhirinya.
»»««
Di
sebuah tempat luas yang dipenuhi genangan air Robert terbangun, membuka matanya
kembali dengan tatapan kosong dan hampa. Sesaat terdiam dengan pikiran kosong.
Seakan tubuhnya bergerak sendiri, Ia langsung bangun dan berdiri lesu di tempat
yang terlihat sepi. Sejauh mata melihat, di sana tidak ada apa-apa kecuali
dirinya dan genangan air yang luas. Langit di tempat itu begitu cerah, suasana
begitu senyap dan itu seakan menusuk dadanya dengan sangat dalam. Kesedihan
yang tidak Robert ketahui mulai memenuhi dirinya, itu terasa aneh tetapi tidak
asing. Rasanya seperti penyesalan.
Robert
terlihat kebingungan dengan situasinya. Sambil melihat sekeliling seakan mencari
sesuatu untuk memahami situasinya, pria itu berusaha mengingat kenapa dirinya
bisa berada di tempat kosong yang hanya terdapat langit cerah dan genangan air
jernih itu.
“Apa
yang terjadi ...? Kenapa aku berada di tempat ini?”
Saat
Ia melihat ke arah genangan air tempatnya berdiri, sentak Robert sangat
terkejut karena melihat bayangannya sendiri yang terlihat sangat muda. Di atas
genangan air di mana riak air mulai tenang, terpantul sosoknya yang masih
berumur 20 tahun dan terlihat sangat sehat. Sorot mata kosong yang terlihat
naif dan bodoh, rambut pirang gelap yang urakan, dan ekspresi tenang yang
terlihat sok tahu.
“Apa
yang terjadi ...? Aku tidak salah lihatkan? Aku ... kenapa terlihat muda lagi?
Omong kosong apa ini ....? Efek hologram atau apa ini ...?”
Robert
bertanya-tanya, tetapi seketika Ia sadar kalau yang dilihatnya itu benar-benar
dirinya setelah menyentuh wajahnya sendiri dan cerminan itu mengikuti. Ia
benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi. Bukan hanya wajahnya saja yang
kembali muda, tetapi tubuhnya juga kembali ke umur kepala dua yang masih sangat
sehat dan penuh semangat. Tinggi badan sekitar 180 sentimeter dan berat badan
rata-rata normal.
Di
saat masih kebingungan, tiba-tiba sebuah cahaya Ilahi yang sangat terang muncul
dari arah langit. Ia menyipitkan matanya, kemudian mendongak melihat ke sumber
cahaya tersebut.
“Ah
...!?”
Melihat
sosok tersebut, seketika tubuhnya gemetar dan mulutnya langsung tertutup rapat.
Di atas sana terlihat sosok Sang Dewi, melayang di udara dan dikelilingi oleh
para malaikat cantik dengan tatapan mata kosong yang mengawalnya.
Dari
kornea mata Robert, tercermin sosok yang begitu indah itu. Bahkan seluruh
lukisan bergaya Realisme yang sering dilihatnya di pameran tidak setara dengan
sosok tersebut. Rupa Dewi itu terlihat seperti seorang gadis dengan kulit putih
pucat dan rambut berwarna pirang panjang sepinggang. Ia berpakaian gaun putih
terurai, seperti halnya dewa-dewi dalam mitologi, dan Ia juga mengenakkan
sebuah selendang transparan yang melingkar pada tubuhnya.
“Selamat,
wahai anak manusia! Engkau telah terpilih menjadi utusanku untuk menjadi
pembimbing dunia tempatku mendirikan kejayaan!” ucap sang Dewi dengan suara
lantang tetapi terdengar sangat anggun dan indah.
Perlahan
ia turun ke bawah sendirian dan memijak di genangan air. Saat ujung kaki
kirinya yang telanjang menyentuh genangan, seketika air yang luas itu berubah
menjadi sangat jernih dan permukaannya mulai memancarkan cahaya terang.
Melihat
hal itu Robert sempat terpaku diam. Tetapi dengan segenap keberanian yang ada,
pria itu memaksakan kesadaran yang seakan melayang karena sosok tersebut. “Pembimbing
dunia ...?” tanya Robert dengan wajah pucat dan penuh rasa khawatir dengan
pikiran negatif yang mulai memenuhi kepalanya.
“Ya
..., engkau telah terpilih ... mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup kembali
di dunia tempat diriku berada.”
Dewi
itu melepas selendang transparan berwarna keemasan yang melingkar pada lehernya,
dan seketika selendang itu berubah menjadi sebuah bola kristal putih keemasan.
Perlahan bola kristal melayang turun ke tangan Dewi, lalu Ia mengulurkan bola
itu ke arah Robert seperti dirinya hendak menyerahkannya.
“A-Apa
maksudnya ini ...?” Tanya Robert.
“Oh
... begitu ya,” ucap Dewi itu sekakan telah mengetahui sesuatu dari Robert. “Engkau
baru saja mati, jadi wajar kalau Anda masih bingung, ya? Kalau begitu, akan
diriku jelaskan dari awal,” lanjutnya.
Dewi
itu mengubah kembali bola kristal berwarna putih keemasan itu menjadi
selendang, dan mengenakkannya lagi. Ia menatap datar ke arah Robert dan sesaat
terdiam, membuat suasana senyap terasa sesaat di antara mereka.
“Sebelum
itu ... wahai manusia, engkau harus tahu ... diriku adalah Dewa yang menguasai
konsep Kematian dan Kehidupan, Violance. Sebenarnya diriku tak memiliki nama
yang bisa diucapkan oleh makhluk fana, tetapi kebanyakan Mortal memanggil diriku seperti itu .... Mungkin ini terdengar
mengejutkan ..., tapi sekarang engkau telah mati, apa engkau sudah paham soal
hal tersebut? Dan ..., aku yang memberikan sesuatu yang bernama kematian itu
padamu.”
Mendengar
itu, tubuh Robert seakan dibanting ke tanah. Amarah, kesedihan, penyesalan,
frustrasi, dan berbagai emosi lainnya bercampur menjadi satu dan membuatnya tidak
karuan.
“Ma-Mati?!
Aku sudah mati?! A-Aku benar-benar sudah mati ...?” tanya Robert dengan panik.
Seketika rasa sedih dan kekecewaan yang dari tadi menyelimuti dirinya berubah
menjadi amarah murni yang diarahkan kepada Dewi di depannya. Robert merasa
kesal karena dirinya mati sebelum memenuhi seluruh impiannya, serta dalam situasi
yang sangat menyedihkan.
“Ya,
engkau sudah mati ... sungguh disayangkan. Kehidupan telah engkau jalani itu
sangat menyedihkan, bukan? Masa lalu yang kelam, semua jerih payahmu hilang
seketika, jatuh sakit yang tak kunjung sembuh, ditinggalkan keluarga, dan
parahnya lagi ... engkau belum melakukan kebaikan yang berarti walaupun pernah
diberikan berkah dan kekayaan melimpah,” ucap Violence dengan nada menekan.
Dewi
itu menatap Robert dengan sangat tajam, seketika rasa amarah yang ada pada pria
itu berganti menjadi rasa takut yang terasa bagaikan sebuah kegelapan yang
tiba-tiba memeluknya. Robert tahu, selama hidup dirinya tidak pernah berbuat
kebaikan yang berarti. Tetapi, itu bukan sepenuhnya salahnya, sifat angkuh dan
tidak peduli terhadap orang lain didapat Robert karena masa lalunya yang bisa
dikatakan jauh dari kata baik ataupun bahagia.
“A-Apa
aku akan masuk neraka?” tanya Robert gemetar ketakutan. Ia mengingat kembali
kesalahan dan penyesalan yang ada pada dirinya sebelum mati.
“Sayang
sekali tidak. Kalau saja kalau engkau adalah jiwa pada umumnya memang biasanya
akan melalui tahap penyucian di sebuah tempat yang disebut neraka mengingat
dosamu selama hidup, tapi engkau berbeda .... Dirimu adalah jiwa yang memiliki
sifat diluar ekspektasi diriku ini .... Engkau tahu, diriku telah mengamati
engkau semasa hidup, dan saat itu engkau mematahkan beberapa prediksi dan jalur
takdir yang telah dibuat .... Jadi ..., aku putuskan segera membawa jiwamu ke
tempat ini untuk segera memulai takdir barumu. Untuk menambahkan komponen yang
masih belum lengkap,” ucap Violence.
Sekilas
sang Dewi sekilas memalingkan pandangnya dari Robert. Dewi penguasa konsep
kehidupan dan kematian itu entah mengapa menampakkan sorot mata dan ekspresi
wajah yang terlihat sedikit sedih.
“Membawa
... jiwaku ...? Jalan takdir?” Robert merasakan hal tidak enak dari perkataan
Dewi itu.
“Ya
.... Mungkin ini terdengar tidak masuk akal, tepi asal engkau tahu, sebenarnya
yang membuat takdir kejam di akhir hidupmu itu adalah diriku ... akulah yang
memberikanmu penyakit yang memperpendek usiamu.”
Saat
mendengar apa yang dikatakan olehnya, seketika Robert dipenuhi amarah dan
langsung menyerang Violence tanpa berpikir panjang.
“Sialan
kau!! Jalang!!”
“Menyedihkan
....”
Creet!!
Tanpa
bisa menyentuh sehelai pun rambut Violence, seluruh tubuh Robert seketika
langsung tertusuk belasan galah hitam yang keluar dari dalam genangan air.
“AAKH!!”
Rasa
sakit itu terasa sangat jelas, tetapi anehnya tubuh Robert sama sekali tidak
mengeluarkan darah setelah terkena tusukan tersebut.
“Galah
Ilahi, senjata yang digunakan untuk menghukum para pendosa di neraka .... Senjata
ini hanya memberikan rasa sakit pada tubuh, tapi tidak menimbulkan luka fisik
.... Dengan kata lain, ini adalah senjata yang digunakan untuk menyiksa jiwa
.... Jika engkau tidak berniat mendengarkanku dan hendak menyerang lagi, diriku
akan dengan senang hati menusukmu lagi dan lagi sampai engkau menurut.”
Violence
menatap tajam ke arah Robert, dan seketika belasan galah yang menusuk tubuh pria
itu menghilang menjadi butiran debu. Sambil memasang ekspresi sedih lagi, Dewi
itu memalingkan wajah dengan mata berkaca-kaca.
Itu
membuat Robert terdiam dengan ekspresi bingung tanpa tahu harus melakukan apa.
Pria itu berlutut, memasang ekspresi datar dan tatapan waspada akan sosok Violence
dan para malaikat yang masih terbang mengawasi mereka dari atas.
“Dengar,
... walaupun diriku bilang bahwa diriku ini yang memberikan takdir kejam itu
pada engkau, tapi kenyataannya semua yang menimpa dirimu itu adalah kesalahan
engkau sendiri. Keberadaan ini sebagai seorang Dewi hanya membimbing saja,
engkau yang memilih takdirmu sendiri. Engkau juga yang paling sadar akan hal
itu, bukan? Setelah mengalami kematian, dirimu pasti menyadarnya, ... takdir
bukanlah jalur tunggal, melainkan sebuah jalur kehidupan dengan potensi yang
tak terbatas. Penderitaan yang engkau alami adalah salahmu sendiri ..., paham?”
Mendengar
hal itu, anehnya Robert tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk membantahnya.
Dalam hatinya Ia merasa bahwa yang dikatakannya memang sangatlah benar,
semuanya yang dialami adalah salahnya sendiri.
“Ya
..., aku tahu. Tapi, kalau ... memperpendek umurku ... itu maksudnya apa?”
tanya Robert dengan nada gelap. Ia berdiri dengan kepala tertunduk, dengan raut
wajah gelap yang terlihat tidak peduli dengan sekitarnya. Saat ia mengangkat
wajah, sorot mata kosong diarahkan ke depan. Violance terdiam mendengar itu, Ia
menatap balik Robert dan kembali memasang wajah yang terlihat bersedih.
“Tentu
saja supaya lebih cepat membawa engkau datang ke alam kematian ini. Semua itu
... untuk memudahkan diriku mereinkarnasi jiwamu ke dunia lain ....”
“Dunia
lain? Berati kamu benar-benar dewa dunia lain ya?” tanya Robert.
“Ya,
lebih tepatnya diriku adalah perwujudan dari Konsep Kehidupan dan Kematian
semestaku. Karena beberapa alasan, para makhluk di sana menyembahku dan
menjadikanku Dewi. Atas perjanjian dengan Sang Maha Kuasa di duniamu, diriku
mendapatkan izin untuk membawa satu jiwa saja masuk ke duniaku. Mungkin ini
terdengar kejam, tapi dengan kata lain kamu menjadi semacam tumbal untuk
menghindari perselisihan antar semesta. Diriku rasa ini juga semacam hukuman
bagimu atas seluruh yang telah engkau perbuat semasa masih hidup.”
Demi
itu menutup wajahnya dengan tangan kanan. Ia tersenyum gelap dan arogan,
kemudian tertawa gelap seraya merentangkan kedua tangan dan memperlihatkan
sifat aslinya sebagai perwujudan Kehidupan dan Kematian.
“YA!!
MANA MUNGKIN PENDOSA SEPERTIMU MENDAPAT AKHIR SEINDAH ITU!! KHAHAHA! Jujur saja diriku hanya ingin menyeretmu ke
semesta ini!”
Tawa
itu begitu menjijikkan di mata Robert. Kesan suci dan mulia yang ada pada
dirinya langsung lenyap. Dalam sorot mata pria itu, sosok Violance lebih mirip
seperti Iblis dari pada seorang Dewi. Tatapan kebencian terpancar dari mata
Robert, dam membuat tawa itu sejenak terhenti, dan digantikan dengan senyum lebar
merendahkan.
“Heh
...!”
“Kau
... mempermainkan hidupku hanya karena alasan itu? Semua kerja kerasku ....
Kehidupanku!! Karena kau, semuanya....”
Robert
mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca. Bagi pria yang selalu tenang dan
bermartabat seperti dirinya, sekarang mungkin adalah saat di mana dirinya
begitu rendah, bahkan lebih dari gelandangan di jalanan yang selalu dihinanya
dalam hati.
“Menangis?
Ternyata orang seperti dirimu juga bisa melakukannya, ya. Tenanglah manusia,
diriku melakukan ini demi kebaikan dirimu. Semasa engkau di dunia itu, dirimu
selalu dimanfaatkan oleh sekelilingmu! Diriku tidak tega melihatnya, jadi
terpaksa diriku putuskan untuk memilihmu dan segera membunuhmu!! Takdir yang
engkau miliki seharusnya lebih kejam dari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk
dendam atau membenciku, wahai manusia yang menyedihkan.”
Sekali
lagi perkataannya meredakan amarah Robert. Pria itu sadar kalau apa yang
dikatakan Violence benar. Semua orang di sekelilingnya dulu memang hanya
memanfaatkan dirinya untuk kepentingan mereka, bukti dari itu adalah tidak
adanya seorang pun yang berada di sampingnya di saat terakhir hidup Robert.
“Wahai
anak manusia, ... asal engkau tahu .... Pada dasarnya perwujudan dari konsep
dunia ⸻ dengan kata lain dewa-dewi kayangan itu bukan maha kuasa seperti di
semesta dirimu berasal, diriku tidak bisa mengendalikan takdir seseorang secara
menyeluruh, yang bisa diriku lakukan adalah membuat faktor pendorong yang
menyebabkan takdir seseorang masuk ke dalam rute takdir tertentu,” ucap
Violence dengan tatapan gelap dan kosong.
Robert
tertunduk sambil kembali berpikir. Mengingat semua penyesalan semasa hidup dan
kesempatan yang ada saat ini. Menyalahkan sesuatu karena kegagalannya sendiri
bukanlah sifat Robert. Sesaat dirinya mengingat semua kenangan berharga semasa hidupnya,
dan memikirkan langkah berikutnya untuk sekarang. Anehnya, rasa sesal yang
selalu dirasakan menghilang, bahkan amarah yang sebelumnya membara sekarang
padam tak tersisa.
“Semua
apa yang telah aku alami adalah kesalahanku sendiri dan buah yang harus aku
petik, aku akui itu memang kenyataannya. Oleh karena itu Dewi, ... tolong beri
aku kesempatan satu kali lagi. Kali ini ... aku berjanji tidak akan melakukan
kesalahan yang sama,” ucap Robert dengan tatapan penuh ambisi.
Mendengar
itu, Violence, sang Dewi kehidupan dan kematian tersenyum lebar kepadanya. Ia
melangkah mendekati Robert dan menatapnya dari dekat. Saat melihat wajah tenang
pria itu, Ia mengambil beberapa langkah ke belakang seraya berputar seakan
menari bahagia.
“Haha!
Kalau begitu, sebagai balasan atas perbuatanku memperpendek umurmu dan hukuman
atas perbuatanmu sendiri saat masih hidup, engkau akan diberi kesempatan kedua atas
namaku ini,” ucap Violance. Dewi ini memantapkan kedua kakinya yang berdiri di
genangan air dan menatap tajam ke arah Robert.
“Sebelum
direinkarnasikan, engkau akan diberi kesempatan untuk memilih [Berkah] yang
akan kamu dapat. Silakan! Kamu ingin apa? Kekuatan maha dahsyat? Bakat yang
melimpah? Senjata legendaris? Silakan pilih sesuka hatimu! Atau menjadi Raja?
Kebetulan di sana ada kesempatan yang terbuka sangat lebar,” lanjutnya dengan
kebahagiaan yang tidak Robert pahami.
Mendengar
itu Robert tersenyum kecil seraya menatap sang Dewi dengan tatapan tulus dan
penuh keikhlasan. Senyuman itu benar-benar membuat Violance bingung. Dewi itu
tahu kalau itu bukanlah dibuat-buat, begitu murni dan berasal dari lubuk hati
pria itu. Karena itulah yang membuat pria itu diluar ekspektasi.
“Dia ..., tidak, memang dari awal jiwa ini
memang ....” Wajah Violance bertambah bahagia dari sebelumnya. Ia
mengulurkan kedua tangan ke depan seraya berkata, “Sebutkan permintaanmu, wahai
anak manusia!”
“Kalau
begitu, tolong berikan aku kesehatan. Biarkan aku selalu dalam kondisi prima supaya
aku tidak sakit seperti itu lagi. Dan terakhir, jauhkan segala hal seperti penyakit
dari diriku. Aku tidak ingin mati dan ditinggalkan seperti itu lagi ....
Melihat semua orang meninggalkanku di saat tidak berdaya, ... itu lebih buruk
dari kematian. Itu seperti siksaan sendiri bagiku.”
Seketika
Violence tercengang mendengar permintaannya. Ia sangat tidak menduga permintaan
seperti itu yang akan muncul darinya. Meskipun dulunya pria bernama Robert itu
semasa hidupnya rakus akan harta, jabatan, dan kekuasaan, sekarang Ia malah meminta
sesuatu yang sangat sederhana seperti kesehatan.
“Engkau
..., sungguh ingin hal semacam itu? Engkau tahu, diriku bahkan bisa memberimu
kerajaan atau menjadikan kamu pahlawan. Bukannya menarik? Apa kau yakin hanya
meminta itu?” tanya Violence.
“Ya,
aku yakin .... Sangat yakin. Menjadi pahlawan atau menjadi raja tidak menjamin
aku mendapat ketenangan. Harta dan jabatan hanya menambah kewajiban saja. Kali
ini aku ingin menjadi biasa, menjadi orang baik yang sering ditemukan di banyak
tempat, saling membantu dalam keterbatasan. Aku ingin menebus semua penyesalan
dan dosaku,” jawab Robert dengan senyuman.
“Engkau
bisa mendapat harta, bakat, dan kemampuan yang bisa kamu gunakan untuk
kehidupan barumu! Yakin Engkau hanya memilih itu?” Violence mulai terlihat sangat
panik.
“Tidak
usah. Aku telah mendapatkan banyak berkah di kehidupan sebelumnya, semua itu
hanya menyesatkan. Jadi paling tidak, kali ini aku ingin hidup sederhana ...,
aku ingin merasakan kehidupan di mana aku bisa bersyukur untuk apa yang aku
dapat.”
Mendengar
perkataan Robert, sang Dewi memasang wajah terpana. Sekilas dia tersenyum kecil
dan memberi tatapan senyap pada Robert. Violence mengubah selendang yang Ia
kenakan menjadi bola kristal berwarna putih keemasan, dan melakukan pengaturan
ulang atas Berkah yang diinginkan Robert.
“Baiklah,
kalau itu kemauan dirimu. Tubuh dengan kesehatan terbaik, ya ... itu mudah
sekali. Karena kapasitasnya masih longgar, jadi sekalian diriku beri beberapa Berkah
lainnya ... sebagai bonus. Anggap saja ini sebagai hadiah karena membuatku
terpesona,” ucap Violence sambil mengatur bola kristal.
“Tidak
..., tidak usah berlebihan ... tubuh sehat saja cukup,” ucap Robert.
“Tidak
usah sungkan. Diriku sedang berbaik hati, jadi terima saja dengan bangga! Engkau
berkata seperti itu dengan tulus, dengan melihat jiwamu saja diriku sudah tahu
itu. Atas sikapmu itu, diriku beri engkau beberapa Berkah kebanggaanku padamu.
Awalnya memang ragu, tapi engkau memang pantas mendapatkan kekuatan ini ....”
Dewi
Violence tersenyum manis dan bergumam, “Sudah aku duga, dirimu sangat berbeda
.... Mungkin kali ini, semuanya akan berubah.”
Robert
mendengar hal tersebut, tetapi dirinya tidak menanyakan apa yang dimaksud dari
perkataan tersebut. Pada akhirnya, tanpa bisa menolak, Robert menerima Berkah
lebih dari apa yang dijanjikan sang Dewi, atau lebih tepatnya terlalu
berlebihan.
Dalam
garis besar, Robert menerima tiga Berkah Utama untuk bekal di kehidupan barunya
yang antara lainnya adalah:
[Berkah Tubuh
Terbaik]
Sebuah berkah yang membuat pemiliknya kebal terhadap berbagai jenis penyakit dan kelainan, dan juga membuat tubuh selalu dalam kondisi terbaik serta memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata.
Sebuah berkah yang membuat pemiliknya kebal terhadap berbagai jenis penyakit dan kelainan, dan juga membuat tubuh selalu dalam kondisi terbaik serta memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata.
[Karisma Penguasa
Mutlak]
Sebuah berkah karisma yang sangat kuat. Saking kuatnya, pemilik berkah ini bisa mendapat kepercayaan orang lain dalam waktu yang singkat.
Sebuah berkah karisma yang sangat kuat. Saking kuatnya, pemilik berkah ini bisa mendapat kepercayaan orang lain dalam waktu yang singkat.
[Perlindungan Dewi
Violence]
Berkah khusus yang diberikan Dewi penguasa kematian dan kehidupan.
Berkah khusus yang diberikan Dewi penguasa kematian dan kehidupan.
Setelah
mendapat berkah-berkah tersebut, Robert direinkarnasikan ke dunia lain dengan
tugas sebagai Utusan di bawah nama Dewi Penguasa Kehidupan dan Kematian.
.
.
.
.
.
Sesaat
setelah sang Dewi Penguasa konsep Kehidupan dan Kematian mereinkarnasi Robert,
sang Dewi itu mulai menari di atas genangan air dangkal. Setiap langkahnya di
atas genangan itu membuat air semakin menggelap, dan dalam hitungan detik
genangan air di sana mulai menguap habis dan hanya menyisakan lantai putih
polos tanpa dekorasi.
Violence
terus menari, langkah kaki tanpa alas terus memijak permukaan putih mengikuti
melodi yang hanya bisa didengar olehnya. Saat dirinya berhenti dan mulai
mengulurkan kedua tangannya ke atas, para malaikat yang terbang di langit sana
perlahan mulai menunjukkan sosok aslinya.
Mereka
terbakar, wajah tanpa ekspresi para malaikat mulai meleleh bersama seluruh
kulit dan dagingnya. Saat semuanya telah selesai, yang ada di langit tempat itu
hanyalah sekelompok tengkorak yang melayang di udara.
“Eternal
of Reanimation .... Sebuah kebangkitan
dari kematian yang mendatangkan perubahan. Kali ini, momen ini, apa yang akan
dibawanya ke dunia itu? Apakah engkau akan mengubahnya, seperti halnya apa yang
engkau lakukan padaku saat itu ...?”
Violence
menurunkan kedua tangannya, lalu kembali berputar dan menari mengikuti alunan
melodi yang hanya bisa didengar dirinya. Saat berputar dan senyum manisnya
terlihat jelas, tengkorak-tengkorak yang melayang jatuh menjadi seperti taburan
kelopak bunga dalam suatu pertunjukan baginya.
“Euphoria
....”
Perlahan
pakaiannya terbakar, kulitnya terbakar, dan terakhir seluruh tubuhnya dilahap
api ungu gelap. Ketika api itu mulai padam, sosok asli sang Dewi mulai terlihat
dalam siluet di balik kobaran api yang terang. Tubuhnya terangkat ke udara,
gaun hitam berenda miliknya berkibar dalam api ungu yang menyala. Rambutnya
berubah seputih salju dan kulitnya memucat seperti mayat. Saat Ia melayang di
udara seraya memasang ekspresi kegembiraan yang seakan tak berdasar, kornea
matanya berubah menjadi semerah darah.
Itu
adalah wujud nyata Sang Dewi Penguasa Konsep Kematian dan Kehidupan, lambang dari
penciptaan dan kehancuran makhluk hidup. Sosok yang menjanjikan kematian kepada
semua yang hidup.
“Akhirnya,
akhirnya diriku bisa menggapai dan bertatap mata denganmu kembali. Entah apa
yang akan dilanggar nantinya, sekarang aku akan⸻”
Kata-katanya
hilang tertelan kobaran api yang menyala-nyala, menyelimuti tubuhnya tanpa
membakarnya.
No comments:
Post a Comment